Rabu, 10 Oktober 2007

Politisasi SARA Jelang Pilkada


Persoalan SARA termasuk didalamnya soal etnisitas menjadi sangat sensitif sehingga dalam waktu tertentu seakan menjadi tabu untuk dibicarakan, hal ini tentu beralasan mengingat pengalaman trauma masa lalu tidak dapat hilang bergitu saja dalam ingatan warga dunia umumnya dan Kalbar khususnya atas beberapa peristiwa konflik yang selalu bermuara pada persoalan identitas. Menjelang suksesi kepemimpinan Kalimantan Barat November mendatang, fenomena dengan simbol identitas ”SARA” juga cenderung dimunculkan oleh para elit maupun setiap pasangan kandidat. Padahal semestinya dalam alam demokrasi yang telah maju, persoalan seputar ”SARA” tidak seharusnya dijadikan komoditas politik yang berlebihan. Pemimpin yang lebih baik dan punya komitmen mensejahterakan rakyatnya adalah persoalan yang semestinya dikritisi dan dijawab bersama.

”Dengan keberagaman etnis yang ada, hal tersebut menjadi sensitif untuk diperdebatkan terlebih dalam menyongsong pemilihan pemimpin Kalbar November mendatang. Karenanya perlu kesepemahaman bersama dan harus dibangun ditingkat masyarakat untuk mewujudkan pilkada damai.” Hal tersebut disampaikan Umar Faruq, ketua Panitia Seminar Politisasi Etnisitas Dalam Pilkada di Wisma Nusantara Rabu (22/8) lalu.

Pada acara seminar yang diselenggarakan Sentral Informasi Kajian dan Demokrasi (SIKAD) tersebut, menghadirkan empat narasumber masing-masing; Nazirin, SH (anggota KPU Kalbar), Ir. Ichwani AR (Anggota DPRD Kalbar), Furbertus Ipur DJ, SH (Direktur Elpagar/Aktivis LSM) dan Kamarusdiana, SH, MH (Akademisi/Dosen UIN Jakarta).

Dalam paparannya, Kamarusdiana, SH, MH mengurai bahwa politisasi SARA (etnis) telah menjadi isu yang hangat diusung para bakal calon kandidat. Namun demikian dia tidak menapik kalau kekeberagaman etnisitas, menurutnya dapat menjadi sinegri dalam membangun Kalbar yang lebih baik. Dia mengingatkan, kalau titik rawan yang mesti menjadi perhatian adalah saat proses pendaftaran di lembaga penyelenggara Pilkada. Kamarusdiana berharap, pilkada Kalbar dapat mengambil pelajaran baik dari proses pilkada Jakarta yang dapat berjalan damai dan menjadi tanggung jawab bersama. Ia juga menyarankan, agar ada pihak (KPU) berkenan mempelopori pembuatan album lagu-lagu dalam bentuk kaset yang bernuansa kampanye untuk pilkada damai.

Sementara Ichwani AR, mengurai politisasi etnis memiliki sisi positif yakni menjadi suatu hal yang mudah, murah dan efektif. Namun demikian dikatakan pula politisasi etnis sisi memiliki sisi negatif diantaranya; kurang mendidik, tidak rasionalitas, kurang bisa dipertanggungjawabkan, potensi memacu konflik serta hasil pemilihan yang kurang optimal.

Hal lain pula disampaikan Nazirin, SH. Anggota KPUD Kalbar ini mengingatkan kalau isu seputar persoalan politisasi etnis tidak akan laku bila persoalan-persoalan dasar warga seperti bidang pendidikan, kesehatan dan lainnya telah terpenuhi. Untuk itu dikatakan, kemampuan mendeteksi konflik sejak dini menjadi kewajiban bersama. Nazirin menawarkan untuk mewujudkan pilkada damai, maka solusi yang mungkin dilakukan adalah bagaimana menggandeng para tokoh untuk isu-isu pilkada damai dan bagaimana berbagai pihak mempelopori adanya komitmen bersama ditingkat para elit dan kandidat untuk siap menang-kalah. Sebagai pihak penyelenggara, Nazirin mengaku kalau pihaknya hasru sungguh-sungguh independen dengan menutup celah menghindari terjadinya money politic.

Sedangkan Furbertus Ipur, SH dalam paparannya mengatakan bahwa pada masyarakat Kalimantan Barat yang multikultur dikatakan memang dapat menjadi salah satu potensi terjadinya konflik. Namun demikian, keberagaman yang ada juga justeru dapat menjadi potensi dalam mewujudkan keadilan dan perdamaian di Bumi Kalimantan Barat khususnya. Ipur mengingatkan bahwa dengan kondisi damai di Kalbar saat ini, bukan berarti tidak ada potensi konflik. ”Justeru saat ini modus operadi semakin di modernisasi” jelasnya.

Dikatakan, kondisi perpolitikan sekarang perlu dibangun dengan perpolitikan modern atas dasar rasionalitas dan bukan berdasarkan kesadaran mekanik terkait dengan kultural semata. Saat ini dikatakan dasar perpolitikan harus diubah bukan soal etnisitas yang sempit, karena yang ingin dicapai menurutnya adalah egalitarian politik. ”Kalau Kalbar mau maju, maka apa yang diusung dalam seminar ini mesti dijunjung tinggai,” pungkas Ipur

Barage Repo

Tidak ada komentar: