Selasa, 20 November 2007

Pelajaran Dari Pesta Demokrasi Kalbar

By. Hendrikus Adam


Pilkada Gubernur Kalimantan Barat 15 November 2007 lalu baru kita lewati. Momen penting yang pertama kalinya dihelat secara langsung untuk pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur di Bumi Khatulistiwa ini sedianya bisa membawa angin segar perubahan bagi masyarakat Kalbar. Namun demikian, dengan telah bergulirnya lonceng reformasi selama hampir sepuluh tahun (1998-2007) tidaklah cukup sebagai sebuah jaminan membaiknya sistem demokrasi di Indonesia umumnya dan Kalbar khususnya. Tidak sedikit ditemui ”keanehan-keanehan” yang tidak sewajarnya terjadi, khususnya bila melihat pelajaran dari Pilgub yang baru berlalu. Hak sebagai warga negara untuk terlibat memberikan hak pilih misalnya, masih terkesan ”pilih kasih” diberikan. Persoalan ini adalah hal mendasar mewarnai proses pesta demokrasi kali ini. Mungkinkah ada misi pesanan dibaliknya pendataan pemilih yang dilakukan?

Wajah demokrasi dalam kaitannya dengan partisipasi publik memang begitu asik untuk diicarakan. Disatu sisi, warga dituntut untuk berpartisipasi dalam perhelatan pesta demokrasi dengan memberikan hak suaranya saat pemilihan, disisi lain banyak diantaranya yang merasa haknya terabaikan karena tidak diberi kesempatan untuk memilih, termasuk kalangan mahasiswa asal daerah yang mengenyam pendidikan di jantung kota ini pun harus terkena getahnya karena tidak terdata oleh aparat RT. Contoh kasus ini misalnya dialami kalangan mahasiswa di lingkungan Sepakat 2, Keluragan Bangka Belitung yang notabenenya telah menjadi warga setempat justeru tidak diberi kesempatan memberikan hak suara. Tidak terdata dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) menjadi soal. Bahkan menurut keterangan aparat setempat, pihaknya memang tidak melakukan pendataan karena berdasarkan pengalaman pemilu sebelumnya aparat RT setempat mengkleim banyak hak suara yang tidak digunakan (terutama oleh kalangan mahasiswa) sehingga kertas suara pun banyak tersisa. Dilain pihak kita jumpai pula anak berusia belum layak (3 tahun), malah memiliki kartu pemilih. Selanjutnya, di kelurahan Sei Beliung pada TPS 51 pemilihan diulang kembali lantaran adanya 23 orang pemilih yang tidak terdata dalam DPT justeru diberi kesempatan menggunakan hak suara yang menurut ketentuan undang-undang (pengumuman edaran KPU) tidak dibolehkan.

Pengalaman berharga lainnya adalah sikap sang kandidat Gubernur Oesman Sapta Odang yang saya rasa pantas menjadi pelajaran dan direfleksi bagi penegakan demokrasi di Kaliamantan Barat ini. Mengaku menggunakan KTP Jakarta saat melamar Calon Gubernur, pengusaha sukses ini merasa selayaknya tidak terdaftar sebagai pemilih, namun pada kenyataannya malah terdaftar dengan tersedianya kartu pemilih baginya. OSO tidak mau menggunakan hak pilihnya dengan alasan tidak mau ”menciderai” demokrasi karena menurutnya bertentangan dengan ketentuan. Pilihan OSO adalah sebuah pilihan yang rasional. persoalannya memang sepele, namun syarat makna, terutama untuk proses penegakan demokrasi di Kalbar.

Sederet catatan diatas adalah bagian kecil dari fenomena Pilgub Kalbar hari ini yang mestinya menjadi Pekerjaan Rumah (PR) bersama untuk kedepan. Munculnya persoalan tersebut hemat penulis salah satunya dikarenakan validitas data tidak dilakukan dengan sungguh-sungguh oleh pihak yang berkompeten, dimana nilai-nilai kejujuran (independensi) petugas yang diberi kewenangan untuk melakukan pendataan semestinya mutlak dimiliki untuk menghindari terjadinya rekayasa data.

Demikian pula untuk kasus bagi kalangan mahasiswa daerah yang tidak berkesempatan untuk memberi hak suaranya karena situasi/kondisi yang tidak memungkinkan (misal: alasan ekonomis yang bertepatan dengan masa Mid Test), semestinya pihak KPUD bersama pihak Kampus bisa memikirkan alternatif sejak jauh hari, misalnya dengan mengadakan fasilitasi pemungutan suara di tingkat Fakultas/kampus. Namun karena ini tidak dilakukan, maka jangan heran bilamana banyak diantaran rekan-rekan mahasiswa tidak memberikan hak pilihnya dan bahkan ada yang menyatakan diri menjadi bagian dari kelompok GOLPUT.

Dengan kondisi ini, harus disadari sistem pendataan pemilih yang dilakukan masih jauh panggang dari api. Aparat yang diberi mandat masih belum siap menjalankan amanah yang diberikan. Berbagai kegelisahan warga yang merasa tidak diperlakukan secara adil dengan diabaikannya hak pilih mereka telah membuktikan kegagalan petugas pendata dan aparat terkait. Oleh karenanya menjadi penting untuk pelajaran kedepan agar pengalaman Pilgub hari ini bisa petik bersama untuk pesta demokrasi berikutnya yang lebih baik.

Untuk itu, hal utama suksesnya sebuah pesta demokrasi menurut penilaian penulis harus berangkat dari data pemilih yang valid/akurat sebagai hasil dari upaya kejujuran, tanpa disertai rekayasa. Oleh karenanya, aparat RT dan lainnya yang diberi tugas melakukan pendataan semestinya pula adalah orang-orang yang terbebas dari ikatan kepentingan pihak manapun (independen), bukan orang-orang pesanan. Dengan data yang valid, maka untuk selanjutnya jiwa besar, budaya damai, saling menghargai pilihan, tidak mudah terprovokasi, dan menjunjung tinggi nilai serta ketentuan yang berlaku akan menjadikan pesta demokrasi sungguh-sungguh adil dan bermartabat seperti yang diharapkan.

Usainya pilgub kali ini semestinya pula dimaknai sebagai sebuah media untuk bersama-sama saling mengintropeksi diri. Perbedaan kepentingan saat berlangsungnya pilkada menjadi sebuah hal yang lumrah. Namun tidak dapat ditapik pula bahwa perbedaan kepentingan tersebut sesungguhnya bermuara pada satu tujuan bersama yakni untuk kepentingan bersama Kalimantan Barat (semoga saya tidak salah).

Dengan berakhirnya rangkaian pemilihan dengan suasana damai paling tidak boleh menjadi indikasi bahwa warga Kalimantan Barat yang terdiri dari beragam latar belakang telah sukses mengawal proses Pilgub walaupun disisi lain masih menyisakan kekurangpuasan dibeberapa kalangan sebagai sebuah fenomena yang normatif-rasional. Terlebih dengan belum finalnya hasil rekapitulasi yang dilakukan lembaga penyelenggara Pilgub (KPUD). Penantian bersama atas hasil Pilgub menurut jadual KPUD Kalbar akan mencapai puncaknya pada 27 November 2007 mendatang.

Sebagai sebuah sebuah konsekuensi logis dari sebuah pertarungan di Pentas Politik, para kandidat memang harus bersabar dan mau bersikap dewasa. Jiwa besar menjadi penting ditanamkan untuk menghadapi sebuah realita. Dengan jiwa besar pula akan semakin memantapkan bagaimana pelajaran Pilgub kali ini dapat membekas dan dimaknai secara positif. Tidak ada yang merasa lebih rendah karena belum berhasil, demikian sebaliknya, tidak ada yang merasa hebat sendiri lantas membusungkan dada.

Dengan dibukanya ruang bagi setiap diri (para kandidat dan timnya) untuk menyadari realita yang ada setidaknya dapat menjadi jalan untuk bagaimana kesuksesan Pilgub yang berjalan damai boleh menjadi kemenangan bersama warga Kalimantan Barat. Menang bersama bagaimana membawa Kalbar kearah yang lebih baik tanpa harus gontok-gontokan. Karena siapapun yang terpilih menjadi Gubernur-Wakil Gubernur, sejatinya adalah pemimpin bagi seluruh warga Kalbar. Biarlah pengalaman Pilgub menjadi pelajaran yang berarti bagi kita semua dan mari kita songsong Pemimpin baru didaerah ini dengan kepala dingin atas hasil demokrasi. Mulailah menjadi juru Damai. []

*) Penulis; Sekretaris Jenderal PMKRI Santo Thomas More Cabang Pontianak 06/07, anggota Jaringan Rakyat Untuk Keadilan dan Perdamaian (JRKP), Tinggal di Asrama Santo Boneventura Sepakat Pontianak, Kalimantan Barat.

Kamis, 15 November 2007

Menjadi Juru (Kampanye) Damai

by. Hendrikus Adam BR*

Hari ini tepatnya 15 November 2007, segenap warga Kalimantan Barat diberi kesempatan untuk menggunakan hak pilihnya sebagai warga negara dalam proses Pemilihan Langsung Kepala daerah (Gubernur dan Wakil Gubernur) yang untuk pertamakalinya dilakukan secara langsung di Bumi Kalimantan Barat. Momen yang merupakan puncak dari rangkaian kampanye yang dihelat selama kurang lebih 14 hari sebelumnya ini adalah babak akhir sekaligus penentu bagi empat pasang kandidat Gubernur-Wakil Gubernur, memuju KB 1. Kalau pada saat kampanye baik para kandidat, tim kampanye, simpatisan masing-masing peserta Pilgub lebih banyak berebut mempromosikan kandidat yang didukungnya masing-masing dengan dengan berbagai media yang ada, maka pada hari ini dan seterusnya yang terpenting dan semestinya menjadi tujuan bersama yang harus dicapai adalah bagaimana segenap elemen masyarakat menyambut PIlgub ini dengan hati yang terbuka penuh damai. Menghindari prasangka-prasangka buruk terhadap satu dengan lainnya akan semakin baik untuk di perhatikan bersama, dimana kampanye damai menjadi layak di gulirkan segenap elemen masyarakat bahwa Pilgub merupakan tanggungjawab bersama.

Harus disadari pula, bahwa pesta demokrasi yang memuat nilai-nilai politis didalamnya senantiasa terkait erat dengan berbagai macam kepentingan yang satu dengan lainnya tentu dalam satu sisi tertentu memang sangat berbeda, namun bila dilihat dari sisi lain tentu kita juga tidak memungkiri yakni adanya keinginan bersama untuk membangun Kalimantan Barat yang lebih baik dan beradab. Karenanya menyikapi persoalan seperti ini, maka adalah sangat rasional bilamana rakyat Kalbar dengan cerdas tidak mudah diprovokasi oleh berbagai isu-isu miring yang dapat memecah belah keutuhan dan eksistensi warga Kalimantan Barat khususnya dan NKRI umumnya.

Memilih pemimpin berdasarkan hati nurani tanpa harus membeda-bedakan identitas masing-masing adalah sebuah catatan pentignya atas penghayatan terhadap eksistensi demokrasi yang selama ini kita dengungkan yang harus dielaborasikan dalam setiap tingkah laku, sikap dan tindakan sebagai manusia yang beradab. Dengan adanya ruang seperti ini maka setidaknya telah memberikan celah "kemerdekaan" bagi setia insan di muka bumi ini ata kebebasan yang selalu dinantikan sebagai manusia yang bermartabat sama.

Pesta demokrasi kali ini menjadi sangat menarik di refleksikan bersama sebagai sebuah proses pembelajaran bersama untuk mau bersabar, memahami akan keberagaman, saling menghargai, saling percaya dan saling mengingatkan antar satu dengan yang lainnya yang untuk selanjutnya menuntut sebuah komitmen bersama yakni JIWA BESAR untuk mau saling menerima sebagai hasil akhir dari sebuah "pertarungan" politik. Dimana, setiap konsekuensi berupa kekalahan maupun kemenangan dalam sebuah pesta.

Pada kenyataannya tidak bisa ditapik pula bahwa beragam warga Kalbar dengan latar belakang yang berbeda turut serta dalam proses ini yang terelaborasi pada masing-masing kubu dalam mendukung kandidat yang dijagokan. namun demikian, terlepas dengan kondisi tersebut kepentingan bersama pada hari ini maupun pasca pemilihan yang perlu menjadi cita-cita bersama yakni terwujudnya Pilgub Kalbar yang damai, aman dan bermartabat hendaknya menjadi pilihan penting yang harus diusung secara bersama.

Untuk itu, melalui kampanye pemenangan masing-masing kandidat yang sebelumnya pernah dilangsungkan selama 2 minggu, maka kali ini kampanye untuk kemenangan bersama warga Kalbar (Pilgub Kalbar yang damai, aman dan bermartabat) perlu pula didaraskan secara bersama oleh warga Kalbar dengan mencoba menjadi Juru (kampanye) Damai yang boleh dimulai pada diri sendiri kemudian pada saudara, keluarga, tetangga, komunitas masyarakat sidekitar kita. Kampanye (damai) ini perlu terus digulirkan sepanjang massa melalui sikap, prilaku dan pikiran positif untuk mewujudkan kehidupan masyarakat yang egalitear, saling menghargai dan beradab di Kalimantan Barat.


Hendrikus Adam
*) Sekretaris Jenderal PMKRI Cabang Pontianak, Anggota Jaringan Rakyat Untuk Keadilan dan Perdamaian (JRKP) Pontianak.

Kamis, 08 November 2007

Mari Wujudkan Pilkada Kalbar yang Damai


Pesta demokrasi pemilihan langsung kepala daerah di Kalimantan Barat untuk periode 2008-2013 akan segera ditabuh 15 November 2007 mendatang. Banyak harapan dan cita-cita warga Kalbar yang harus diperjuangkan para bakal calon Gubernur Kalbar mendatang. Setiap kandidat mempunyai kesempatan dan hak yang sama dalam serta punya peluang yang sama dalam menduduki posisi menjadi KB 1.

Untuk merebut kursi panas tersebut, tentunya setiap pasang kandidat harus bersabar, menahan diri dan tidak gampang emosi. Yang terpenting setiap kandidat harus punya komitmen untuk mau bersikap menjadi "pemenang sejati" yang memiliki JIWA BESAR. Siap menang dan siap pula menerima kekalahan adalah syarat mutlak yang harus dipegang dalam "pertarungan" di alam demokrasi. Jiwa besar dari para kandidat tersebut hanya akan terbukti pasca pemilihan dan hanya waktu yang bisa menjawabnya. Segenap rakyat Kalbar juga punya peran dalam mewujudkan Kalbar yang damai tanpa konflik ditengah maraknya suasana menjelang Pilkada.

Untuk itu melalui tulisan ini saya mengajak segenap warga Kalbar untuk:
  1. Bersama menjaga dan mempertahankan kondisi Kalbar yang kondusif saat ini.
  2. Jangan mudah terprovokasi oleh berbagai isu-isu negatif yang menyesatkan.
  3. Pilihlah kandidat yang anda anggap bisa membawa Kalbar lebih baik sesuai hati nurani.
  4. Meminta setiap pasangan kandidat Gubernur-Wakil Gubernur, tim sukses dan warga Kalbar untuk berjiwa besar menerima setiap keputusan yang bersumber dari pilihan rakyat.
  5. Hargai pilihan saudara, teman, keluarga, kenalan anda dengan memberikan kebebasan hakiki sebagai manusia tanpa perlu harus mencederai perasaan relasi anda yang juga punya hak dan martabat yang sama sebagai manusia.
  6. Mari maknai setiap perbedaan adalah anugerah, termasuk perbedaan dalam menyampaikan hak pilihnya.

"Mari Wujudkan Pilkada Gubernur-Wakil Gubernur Kalimantan Barat yang damai dan bermartabat"

Adam "Pencinta Damai"

Pendidikan Multikultur Mahasiswa Lintas Etnis

Hargai perbedaan, wujudkan perdamaian dan rekonsiliasi yang merupakan tanggung jawab bersama sebagai makhluk yang bermartabat.



by. Hendrikus Adam Barage Repo

Memahami keberagaman dan saling menghargai perbedaan adalah bagian dari keharusan sebagai prasyarat untuk terwujudkan perdamaian dalam masyarakat yang pluralis seperti halnya di Kalimantan Barat yang pernah mengalami suramnya kehidupan sosial akibat pertikaian komunal yang disertai simbol etnisitas. Modul pendidikan perdamaian dan rekonsiliasi untuk aktivis CU misalnya menyebutkan sedikitnya 13 kali konflik yang bermuara pada persoalan etnis. Keberagaman latar belakang dapat menjadi energi postif maupun sebaliknya (negatif) bilamana tidak ditempatkan pada porsi yang sebenarnya. Oleh karenanya kesepahaman mengenai keberagaman menjadi penting adanya dengan melibatkan multi pihak. Kaum muda (mahasiswa) adalah satu diantaranya. Memberikan kesadaran mengenai pentingnya membangun perdamaian dan rekonsiliasi dengan tujuan agar perdamaian dan rekonsiliasi berkelanjutan di Kalimantan Barat dipahami sebagai tanggungjawab bersama adalah sasaran yang ingin dicapai dalam kegiatan Pendidikan Perdamaian dan Rekonsiliasi Mahasiswa Multi Etnis yang digelar Aliansi NGO Untuk Perdamaian dan Rekonsiliasi (ANPRI) bertempat di gedung Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan (LPMP) Kalbar pada Jumat, 2-4/11 lalu.

Pendidikan perdamaian yang diprakarasi ANPRI yang terdiri dari Mitra Sekolah Masyarakat (MiSeM), Institul Dayakologi (ID), PEK Pancur Kasih, Lembaga Gemawan, SEGERAK dan BK3D Kalimantan kali ini merupakan langkah perdana untuk menciptakan juru damai di kalangan kaum muda khususnya mahasiswa. Pendidikan sebelumnya setidaknya telah dilakukan, terutama bagi kalangan aktivis Credit Union. Sedikitnya sebanyak 36 peserta dari berbagai latar belakang keluarga, kampus, etnis dan agama menyatu dalam kegiatan yang difasilitasi Subro (Direktur MiSeM), Edi V Petebang (Direktur ANPRI) dan Julia (Aktivis Institut Dayakologi). Dengan metode yang sangat cair oleh fasilitator, peserta dapat dengan leluasa menikmati materi demi materi yang disuguhkan. Diantara materi tersebut, peserta diajak menyelami seputar informasi tentang Hak Asasi Manusia (HAM), Globalisasi, Ekonimi Kapitalis vs Ekonomi Kerakyatan dan Pendidikan Multikultur yang dilakukan baik melalui penyampaian materi, diskusi kelompok, maupun melalui pemutaran film. Peserta juga diajak menyelami akar dan potensi konflik yang ada di Kalimantan Barat.

Seperti dikatakan Direktur ANPRI, Edi V Petebang, kegiatan pendidikan perdamaian untuk kalangan mahasiswa tersebut bukanlah kali yang terakhir, karena menurut dia kedepan akan kembali digelar dengan melibatkan peserta yang berbeda. “Melalui kegiatan ini semoga menjadi awal baru untuk mulai berbuat dari diri sendiri, keluarga dan masyarakat. Mari kita peduli terhadap sesama kita. Melalui kegiatan ini pula kita diharapkan mampu menjernihkan streotipe-streotipe negatif terhadap etnis kita maupun etnis lainnya yang berkembang” pinta alumnus FISIP Untan yang juga sebagai anggota Komnas HAM Kalbar ini.

Direktur MiSeM, Subro yang juga selaku ketua panitia memandang pentingnya peranserta masyarakat terutama kalangan kaum muda (mahasiswa) dalam memaknai streotipe-streotipe yang berkembang secara lebih jernih. Mari menarik diri masing-masing dari streotipe negatif dengan menumbuhkan pemikiran positif bahwa dimata setiap orang sesungguhnya ada cinta. Mari kita menjadi Juru Damai,” ajaknya. Hal sama disampaikan Julia. Menurut aktivis Institut Dayakologi asal etnis Tionghoa ini, kaum muda (mahasiswa) mestinya memiliki pembinaan yang lebih maju sebagai kaum terpelajar. Dikatakan, dirinya merasa sangat optimis kalau akhirnya bisa mengikis pelan-pelan streotipe-streotipe negatif yang kini masih berkembang dimasyarakat.

Meskipun berlangsung singkat, kegiatan ini diyakini telah memberi manfaat bagi peserta akan pentingnya saling menghargai dalam keberagaman. Seperti halnya Novita dan Agustina. Saat dimintai komentarnya, keduanya telah menerima sisi positif dari kegiatan tersebut. Disamping bisa saling kenal antar peserta dengan latar belakang yang berbeda, dikatakan pula bertambahnya wawasan mengenai perbedaan. Keduanya berharap agar kegiatan tersebut dapat kembali dilaksanakan. “Usai kegiatan ini kita akan mencoba mengajak dan berbagi pengalaman dengan rekan-rekan lainnya untuk bersama-sama memahami pentingnya menanamkan budaya damai dan saling menghargai perbedaan,” pungkas Novita.

Peserta lainnya, Qomaruzzaman menilai pendidikan perdamaian sangat tepat diberikan kepada kalangan kaum muda (mahasiswa) yang mana bila belajar dari pengalaman konflik, kaum muda menurutnya selalu terkait didalamnya. Keberadaan kaum mahasiswa dikatakan pula memiliki peran strategis karena selalu diidentikkan dengan agen og change atau corongnya perubahan. Melalui kegiatan pendidikan perdamaian, sosok yang juga ketua Himpunan Mahasiswa Madura (HIMMA) ini berharap peserta dapat membantu meluruskan streotipe-streotip yang berkembang dimasyarakat dan memberi pencerahan bagi masyarakat. Perdamaian dalam keberagaman adalah harapan yang menjadi kerinduan bersama warga.

Rabu, 10 Oktober 2007

Wujudkan Pilkada Damai

"Mari Wujudkan Pilkada Damai Tanpa Konflik"

Pilkada damai menjadi harapan atau keinginan setiap orang, benarkah? Pertanyaan ini terkesan memang sedikit “ngawur”, namun saya rasa pantas direfleksikan. Jawabannyapun demikian beragam, bisa benar dan bisa pula tidak benar. Kedamaian berlangsungnya pilkada setidaknya bukan hanya menjadi harapan atau keinginan semata. Namun tindakan nyata melalui sikap, prilaku, keputusan, kebijakan dengan memperhatikan kebebasan berlandaskan norma-norma ideal yang bercermin pada etika untuk mewujudkannya menjadi penting, karena bila tidak dibarengi dengan hal demikian, maka jawabannya bisa saja menjadi sebaliknya (tidak benar).

Singkat kata, pilkada yang damai akan dapat terwujud bila dibarengi dengan tindakan nyata yang diwujudkan melalui kesungguhan sikap dalam tindakan dan prilaku serta keputusan yang memerdekakan setiap pribadi. Tanpa dibarengi sikap propokatif yang bisa berdampak merugikan banyak pihak. Namun demikian, pilkada damai semestinya tidak cukup bila hanya difahami sebagai suatu kondisi tidak terjadinya konflik secara fisik pada tingkat masyarakat, akan tetapi perlu dipahami secara lebih konperhensif (menyeluruh) yang menyangkut stabilitas keamanan, perasaan, rasa emosional yang melibatkan dan memerdekakan partisipasi seluruh elemen masyarakat. Pada kondisi ideal seperti ini, kemerdekaan yang bersumber dari hati nurani menjadi mutlak. Maka tidak heran bila ada saja pernyataan yang selalu disampaikan “Berikan Pilihanmu Berdasarkan Hati Nurani”. Sebuah sikap terdalam yang sarat makna, karena menyibak eksistensi manusia yang berbekalkan hak-haknya sebagai manusia (HAM) yang mendapat pernghargaan. Dalam arti lain, eksistensi manusia sebagai makhluk sosial dihargai.

Pilkada damai hanya mungkin terwujud bilamana dalam prosesnya mampu menghargai kaidah/norma-norma ketentuan hukum, menjunjung tinggi nilai-nilai kekebasan/demokrasi dan nilai kemanusiaan. Setiap orang yang diberi kebebesan, diberikan haknya untuk menentukan pilihan sendiri, akan turut merasa menang sekalipun kandidat yang dipilihnya agungkannya belum diberi kesempatan untuk menang.

Kemerdekaan hati nurani setidaknya digariskan seperti termaktub dalam pasal 28i ayat 1 UUD 1945 yang berbunyi; “…hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani …adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.” Jadi sesungguhnya, kebebasan untuk menentukan pilihan berdasarkan hati nurani telah digariskan.

Oleh karenanya, bila setiap warga diberi kesempatan untuk mencurahkan keputusan berdasarkan hati nuraninya, mengikuti kata hatinya, diberi kesempatan untuk menghargai perbedaan (termasuk pilihan) dan menjunjung tinggi nilai-nilai multicultur, maka peluang pilkada damai yang diharapkan sangat mungkin terwujud. Karena bila hal tersebut diberikan, maka rasa puas setiap warga dengan sendirinya akan muncul, sebab pilihan yang dilakukan didasarkan atas kesadaran. Untuk itu, menyongsong Pilkada November mendatang peran kita semua (warga Kalbar), para pendukung, para kandidat serta kalangan elit yang dijadikan Public Pigure bisa memberikan teladan dengan menghargai nilai-nilai perdamaian, demokrasi, kemerdekaan tanpa harus menunjukkan ambisi yang berlebihan yang dapat merugikan diri sendiri maupun masyarakat luas. Mari jaga bersama, jangan mudah terprovokasi dengan isu-isu destruktif dan menyesatkan yang sangat mungkin muncul akhir-akhir ini. Mari wujudkan Pemilihan langsung kepala daerah yang damai, merdeka dan bertanggungjawab dengan tetap mengedepankan nilai-nilai dan hak asasi manusia.

Hendrikus Adam BR,
Sekretaris Jenderal PMKRI Cabang Pontianak 06/07, Anggota JRKP, dan
Anggota Sahabat Lingkungan Kalbar (SALAK)

Menanti Jiwa Besar Calon Pemimpin Kalbar


by. Hendrikus Adam BR

Persaingan menjadi fenomena menarik menjelang pilkada. Pilgub Kalbar November mendatang adalah saat tepatbagi warga Kalbar memilih pemimpinnya secara langsung. Melalui moment ini, mentalitas sportifitas pasanganmasing-masing kandidat Cagub di uji. Menang-kalahadalah hasil yang pasti. Namun demikian, adakah jiwa besar tertanam dalam diri mereka bila suatu saat dihadapkan pada kenyataan "KALAH"?

Detik-detik pemilihan secara langsung kepala daerahuntuk yang pertama kalinya oleh warga di KalimantanBarat telah didepan mata. Tepat tanggal 15 Novembermendatang, prosesi Pesta Demokrasi Pemilihan Gubernurperiode 2008-2013 dijadwalkan mencapai puncaknya.Berdasarkan hasil verifikasi penyelenggara Pilsungkada(KPUD Kalbar), empat pasang calon GUbernur dan WakilGubernur dengan urutan masing-masing; H. UsmanJa’ar-LH. Kadir, Oesman Sapta-Ignatius Lyong, H.M.Akil Mohtar-AR. Mecer dan pasangan Cornelis-ChritiandySanjaya ditetapkan sebagai peserta Pilkada Kalbar.

Banyaknya pasangan kandidat yang maju dalam perhelatanPilkada kedepan, setidaknya telah terbuka ruang bagiwarga Kalbar untuk menenetukan pilihan calon pemimpinyang diingini. Secara logis pula, dengan semakinbanyaknya kandidat yang maju, maka makin besar pulapeluang untuk menentukan pemimpin yang terbaik. Untukitu, kemerdekaan hati nurani dalam menentukan pilihandan tidak mudah terprovokasi mesti tetap terjaga. Sikap ini pula mestinya wajib didukung dan dihormatioleh para elit, terutama masing-masing pasangkandidat.

Rasanya perlu dipahami bersama bahwa perhelatanpilkada Gubernur November mendatang adalah momentuntuk memilih kepala daerah yakni pemimpin wargaKalbar dan bukan pemimpin golongan tertentu. Dengandemikian, semestinya warga jangan mudahdikotak-kotakkan hanya karena persoalan SARA yangcenderung dipersempit. Siapapun kandidat yang majudalam perhelatan tentunya memiliki peluang dankesempatan sama yang pantas diberi apresiasi. Jadi,apapun latar belakang identitasnya bila dipandanglayak oleh warga Kalbar menjadi pemimpin, makasemestinya tidak perlu diperdebatkan. Satu hal pentingmenurut penulis yang harus dibangun adalah bagaimanakita menyadari bahwa pilkada mendatang adalah gawainyawarga Kalbar yang harus dijunjung tinggi.

Ibarat sebuah pertandingan, pilkada sangat jelas memiliki aturan main yang harus dipatuhi bersama. Didalam pertandingan, menang atau kalah adalahkonsekuensi logis yang mutlak. Konsekuensi pasti(menang-kalah) atas hasil pesta demokrasi seperti initentunya telah dipahami bersama oleh setiap kandidat.Karena bila tidak dipahami, maka langkah mengundurkandiri semestinya menjadi pilihan logis yang bolehdilakukan sebelum hasilnya benar-benar terjadi.

Meski ada kecenderungan maupun kekhawatiran wargakalbar terhadap para kandidat yang mungkin tidaksportif (tidak berjiwa besar)dalam menerima hasilpilkada, maka yang mesti dilakukan adalah bagaimanakita secara bersama-sama mengawal dan mendukung prosestersebut dengan tetap menghormati hak setiap kandidatdengan berupaya membentuk opini dan pemikiran positifagar apa yang diharapkan bisa berjalan sesuai koridordan kektentuan yang diharapkan. Kewajiban ini tentunyawajib kita nantikan.

Karena Pilkada adalah pertaruhan menang dan kalah,maka jiwa besar menjadi impian kita yang harus dijawab bersama warga, terutama para pasangan calon gubernur yang akan dipilih. Kesediaan menerima hasil pilkada dengan lapang dada adalah jalan menuuju kemenangan warga Kalbar yang sesungguhnya.


*) Sekretaris Jenderal PMKRI Cabang Pontianak 06/07, Anggota Sahabat Lingkungan Kalbar (SALAK), Anggota Jaringan Rakyat Untuk Keadilan dan Perdamaian (JRKP Pontianak)

Politisasi SARA Jelang Pilkada


Persoalan SARA termasuk didalamnya soal etnisitas menjadi sangat sensitif sehingga dalam waktu tertentu seakan menjadi tabu untuk dibicarakan, hal ini tentu beralasan mengingat pengalaman trauma masa lalu tidak dapat hilang bergitu saja dalam ingatan warga dunia umumnya dan Kalbar khususnya atas beberapa peristiwa konflik yang selalu bermuara pada persoalan identitas. Menjelang suksesi kepemimpinan Kalimantan Barat November mendatang, fenomena dengan simbol identitas ”SARA” juga cenderung dimunculkan oleh para elit maupun setiap pasangan kandidat. Padahal semestinya dalam alam demokrasi yang telah maju, persoalan seputar ”SARA” tidak seharusnya dijadikan komoditas politik yang berlebihan. Pemimpin yang lebih baik dan punya komitmen mensejahterakan rakyatnya adalah persoalan yang semestinya dikritisi dan dijawab bersama.

”Dengan keberagaman etnis yang ada, hal tersebut menjadi sensitif untuk diperdebatkan terlebih dalam menyongsong pemilihan pemimpin Kalbar November mendatang. Karenanya perlu kesepemahaman bersama dan harus dibangun ditingkat masyarakat untuk mewujudkan pilkada damai.” Hal tersebut disampaikan Umar Faruq, ketua Panitia Seminar Politisasi Etnisitas Dalam Pilkada di Wisma Nusantara Rabu (22/8) lalu.

Pada acara seminar yang diselenggarakan Sentral Informasi Kajian dan Demokrasi (SIKAD) tersebut, menghadirkan empat narasumber masing-masing; Nazirin, SH (anggota KPU Kalbar), Ir. Ichwani AR (Anggota DPRD Kalbar), Furbertus Ipur DJ, SH (Direktur Elpagar/Aktivis LSM) dan Kamarusdiana, SH, MH (Akademisi/Dosen UIN Jakarta).

Dalam paparannya, Kamarusdiana, SH, MH mengurai bahwa politisasi SARA (etnis) telah menjadi isu yang hangat diusung para bakal calon kandidat. Namun demikian dia tidak menapik kalau kekeberagaman etnisitas, menurutnya dapat menjadi sinegri dalam membangun Kalbar yang lebih baik. Dia mengingatkan, kalau titik rawan yang mesti menjadi perhatian adalah saat proses pendaftaran di lembaga penyelenggara Pilkada. Kamarusdiana berharap, pilkada Kalbar dapat mengambil pelajaran baik dari proses pilkada Jakarta yang dapat berjalan damai dan menjadi tanggung jawab bersama. Ia juga menyarankan, agar ada pihak (KPU) berkenan mempelopori pembuatan album lagu-lagu dalam bentuk kaset yang bernuansa kampanye untuk pilkada damai.

Sementara Ichwani AR, mengurai politisasi etnis memiliki sisi positif yakni menjadi suatu hal yang mudah, murah dan efektif. Namun demikian dikatakan pula politisasi etnis sisi memiliki sisi negatif diantaranya; kurang mendidik, tidak rasionalitas, kurang bisa dipertanggungjawabkan, potensi memacu konflik serta hasil pemilihan yang kurang optimal.

Hal lain pula disampaikan Nazirin, SH. Anggota KPUD Kalbar ini mengingatkan kalau isu seputar persoalan politisasi etnis tidak akan laku bila persoalan-persoalan dasar warga seperti bidang pendidikan, kesehatan dan lainnya telah terpenuhi. Untuk itu dikatakan, kemampuan mendeteksi konflik sejak dini menjadi kewajiban bersama. Nazirin menawarkan untuk mewujudkan pilkada damai, maka solusi yang mungkin dilakukan adalah bagaimana menggandeng para tokoh untuk isu-isu pilkada damai dan bagaimana berbagai pihak mempelopori adanya komitmen bersama ditingkat para elit dan kandidat untuk siap menang-kalah. Sebagai pihak penyelenggara, Nazirin mengaku kalau pihaknya hasru sungguh-sungguh independen dengan menutup celah menghindari terjadinya money politic.

Sedangkan Furbertus Ipur, SH dalam paparannya mengatakan bahwa pada masyarakat Kalimantan Barat yang multikultur dikatakan memang dapat menjadi salah satu potensi terjadinya konflik. Namun demikian, keberagaman yang ada juga justeru dapat menjadi potensi dalam mewujudkan keadilan dan perdamaian di Bumi Kalimantan Barat khususnya. Ipur mengingatkan bahwa dengan kondisi damai di Kalbar saat ini, bukan berarti tidak ada potensi konflik. ”Justeru saat ini modus operadi semakin di modernisasi” jelasnya.

Dikatakan, kondisi perpolitikan sekarang perlu dibangun dengan perpolitikan modern atas dasar rasionalitas dan bukan berdasarkan kesadaran mekanik terkait dengan kultural semata. Saat ini dikatakan dasar perpolitikan harus diubah bukan soal etnisitas yang sempit, karena yang ingin dicapai menurutnya adalah egalitarian politik. ”Kalau Kalbar mau maju, maka apa yang diusung dalam seminar ini mesti dijunjung tinggai,” pungkas Ipur

Barage Repo

JRKP, Skenario Untuk Perdamaian


by. Hendrikus Adam BR
Keadilan dan kedamaian bukanlah milik segelintir orang, melainkan menjadi harapan bagi setiap warga di muka bumi ini. Pentingnya upaya perwujudan perdamaian yang perlu terus menerus ditumbuhkembangkan dalam kehidupan bermasyarakat tanpa memandang sekat dan perbedaan lainnya menjadi cita-cita bersama. Pemikiran dan semangat seperti ini setidaknya telah mengilhami munculnya sebuah wadah organisasi rakyat yakni Jaringan Rakyat untuk Keadilan dan Perdamaian (JRKP). Berdasarkan hasil konsolidasi 4-5 Juli lalu, JRKP yang semula menggunakan istilah Sistem Peringatan Dini Konflik Komunal (SPDKK) sebagai penjabaran dari program Early Warning System (EWS) boleh dikatakan sebagai wadah pertama berbasis rakyat yang mencoba fokus pada isu-isu seputar keadilan dan perdamaian. Berdasarkan hasil konsolidasi tersebut dirumuskan peran strategis JRKP sebagai organisasi jaringan yang bekerja memperjuangkan keadilan dan perdamaian di Kalimantan Barat.

Disamping itu, JRKP memiliki prinsip dasar yang meliputi; a) menjunjung tinggi multikulturalisme, dimana JRKP dalam prinsipnya tidak memandang etnis, suku, agama dan golongan, namun lebih menghargai perbedaan, b) Bersifat terbuka (inklusif), bahwa wadah ini terbuka bagi siapa saja baik secara indivisu maupun berupak kelompok, c) menjunjung tinddi sikap toleran, dimana JRKP menghargai adanya perbedaan pendapat-sikap-pandangan, d) anti kekerasan (non violence), e) independen, bahwa JRKP tidak berpihak pada kepentingan, politik dan golongan tertentu, f) berkesetaraan gender, bahwa nilai-nilai berkeadilan gender perlu dijunjung tinggi.

Untuk saat ini, JRKP hanya tersebar pada tiga wilayah yakni Pontianak, Sambas dan Landak. Masing-masing wilayah tersebut koordinir oleh seorang koordinator JRKP wilayah. Sementara untuk koordinator setiap JRKP wilayah terletak pada Pimpinan Kolektif JRKP Kalbar yang terdiri dari 7 orang masing-masing; tiga orang staf lapangan program SPDKK, 3 orang dari koordinator per wilayah dan satu orang koordinator jaringan SPDKK.

Menurut Furbertus Ipur, SH yang juga selaku bagian dari core tim (Elpagar, Gemawan, Kelompok Studi Masyarakat dan Perdamaian/KSMP FISIP Untan, Misem dan YPPN (Yayasan Pemberdayaan Pepour Nusantara) bahwa model jaringan tersebut mestinya menjadi milik rakyat. Untuk itu, maka organisasi tersebut semestinya memang berangkat dari rakyat. ”Esensinya adalah kita ingin muncul skenario rekonsiliasi, skenario EWS untuk konflik dan skenario early respon atau skenario konflic prepention itu munculnya dari masyarakat langsung. Dan itu bisa digagas lewat diskusi-diskusi yang muncul dalam jariingan JRKP itu sendiri. Nah itu sebenarnya yang paling pokok, itu semangat utamanya kenapa JRKP ada. Wadah ini mestinya netral dalam arti menjadi katalisator kalau kita bicara soal perdamaian,” jelas Ipur.
Menurut Ipur, JRKP salah satu organisasi rakyat yang pertama yang pokus kerjanya adalah bicara perdamaian dan keadilan yang berbasiskan warga masyarakat (grass root), disamping upaya-upaya yang memang telah dilakukan sebelumnya oleh beberapa LSM.
Membangun Semangat Egaliter

Lahirnya JRKP menurut Direktur ELPAGAR (F. Ipur) diakui tidak lepas karena selalu adanya potensi konflik yang mungkin saja muncul. Karenanya semangat saling menghargai dalam perbedaan menjadi penting. ”Kalau sebuah komunitas tidak melakukan itu, maka relatif komunitas itu menjadi komunitas yang eksklusif dan cenderung menjadi ancaman untuk komunitas lain, karena komunitas itu tidak belajar untuk melihat perbedaan, tidak belajar untuk memandang sebuah konflik sebagai sebuah persoalan yang biasa dan cenderung menyelesaikannya dengan cara kekerasan,” bebernya.

Munculnya gerakan tersebut juga dikatakan sebagai kritik terhadap persoalan konflik horisontal yang tidak pernah bisa diselesaikan secara tuntas oleh pihak yg mestinya bertanggungjawab seperti pemerintah, terutama pula pihak keanmanan yang sampai sekarang belum ada skenario untuk itu. Mestinya JRKP bisa menjadi katalisator untuk persoalan-persoalan dalam mewujudkan keadilan, menjadi amplipier untuk isu-isu perdamaian. ”Prinsip-prinsipnya sederhana, siaapun yg mengeluarrkan pendapat atau melakukan tindakan diskriminasi atau tindakan rasial bisa memacu konflik dia harus dilawan oleh JRKP. JRKP akan melawan semua orang yang masih rasis di Kalbar dan JRKP punya beban untuk mendidik rakyat untuk bisa egaliter, bisa toleran satu sama lain,” tegasnya.

Kedepan JRKP diharapkan mengagendakan pendidikan kritis dan mendesakkan agenda-agenda perdamaian itu menjadi agenda politik bagi rezim pemerintahan yang berkuasa. Artinya birokrasi, keamanan dan aparat pertahanan dan keamanan harus mempunyai self of humanity (rasa kemanusiaan), sehingga mereka bisa meletakkan skenario untuk membangun perdamaian itu menjadi persoalan yang mutlak ketika dia berkuasa. Artinya ada good will untuk membangun perdamaian. Yang berikutnya terpenting juga turut serta mendorong ada perbaikan kebijakan. Jadi disamping soal kultur melalui pendidikan kritis, aparatus juga persoalan struktur/system mestinya didesakkan JRKP.

JRKP juga diminta untuk tidak buru-buru, dan mempersiapkan basis dan ada mekanisme kelembagaan yang baik. Dalam satu tahun berjalan, JRKP diharapkan dapat memberikan kontribusi yang rill bagi warga Kalbar terutama dengan semakin banyaknya anggota yang bergabung untuk menyuarakan persoalan-persoalan perdamaian di Kalbar.

Perdamaian Untuk Semua
Membangun perdamaian menjadi tanggungjawab bersama, karenanya diharapkan antar lembaga-lembaga sosial yang ada (LSM dan lainnya) agar saling mendukung dan saling koordinasi karena sikatakan, isu perdamaian bukan hanya dimiliki sekelompok orang, tapi seluruh kelompok orang. Aliansi NGO dan organisasi rakyat kedepan sdiharapkan pula mampu mempengaruhi terutama dalam kaitannya dengan upaya membangun perdamaian (peace building).

Khusus untuk penentuan pemimpin, Furbertus Ipur berharap agar masyarakat tidak lupa melihat perspektif perdamaian yang coba ditawarkan dari pemimpin, karena menurut dia siapapun pemimpinnya bila tidak punya perspektif membangun perdamaian pantas dipertanyakan. ”Jangan pilih siapapun pemimpin masyarakat bila dia tidak punya sens of peace, karena tidak mungkin kita membangun perdamaian dengan gelisah dan masyarakat yang frustasi serta syarat dengan kultur kekerasan,” pungkasnya.