Kamis, 14 Mei 2009

Menyulam Wajah Pluralisme?

Oleh Hendrikus Adam*

Tahun 2008 sudah berlalu. Kali ini kita memasuki masa peralihan di tahun yang baru yakni 2009. Dipastikan tidak akan terjadi perubahan jumlah lamanya waktu (jam-hari-minggu-bulan). Namun perubahan dalam berbagai aspek kehidupan sebagai bagian dari fenomena sosial kemasyarakatan tentu pasti akan mengalami warna dan dinamikanya tersendiri yang beragam. Setiap perubahan yang terjadi pada masa sekarang merupakan hasil rekonstruksi dari proses perjalanan kehidupan sebelumnya. Demikian pula perubahan dimasa yang akan datang, tentunya menjadi bagian dari sebuah proses rekonstruksi dimasa kini, yang sedang kita jalani. Sebuah perubahan akan terjadi. Itu pasti. Pertanyaannya, perubahan seperti apa yang kita mau? Lambat laun akan dijawab seiring dengan bergulirnya sang waktu. Namun demikian harus diingat, perubahan yang diharapkan hasilnya baik tidak datang dengan sendirinya. Perubahan untuk tatanan kehidupan bermasyarakat yang pada kenyataannya hadir dalam keberagaman bahasa, adat istiadat, budaya, keyakinan dan lainnya juga layak dicermati bersama. Bila retak, maka harus ”disulam” kembali.

Kita sadari, keberadaan suku, agama, ras, dan lainnya sebagai identitas setiap warga dinegeri ini, dan warga Kalimantan Barat khususnya adalah sebuah fenomena yang tidak dapat dibantah oleh siapapun. Dipastikan tidak seorangpun dimasa lahirnya memilih untuk dilahirkan dari keluarga yang memiliki identitas tertentu. Kehendak-Nya sungguh sebuah kemutlakan. Siapa yang berani membantah?

Dalam beberapa kasus, seringkali tanpa kita sadari bahwa sikap maupun perbuatan kita dalam beberapa kondisi justeru menapik apa yang telah menjadi kodrat dari Sang Pencipta itu. Hasil karya-Nya justeru seringkali diperdebatkan. Padahal mestinya kita juga patut merenungi maksud perbedaan yang diberikan oleh Tuhan pada setiap makhluk dimuka bumi ini. Tidak lantas mengambil tindakan berdasarkan keegoan diri dan atau keegoan kelompok/komunitas.

Pepatah tua masyarakat Cina seperti disampaikan pada acara Refleksi (di) Awal Tahun PMKRI Pontianak beberapa waktu lalu oleh DR. Yusriadi ”Ketika kita ingin merobohkan tembok, kita harus memikirkan dulu kenapa tembok itu dibangun?”, agaknya relefan dengan kondisi kita saat ini yang hidup bersama ditengah keberagaman untuk direnungi sebelum memperdebatkan hal tersebut. Perbedaan yang muncul oleh karena kehendak-Nya tentu punya maksud lain. ”Kita tidak bisa seragam, karena tugas dan peran memang berbeda. Tetapi ketika kita memilih berbeda (pilihan pasca dilahirkan), maka kita harus siap dengan perbedaan itu. Kita memang sering memilih berbeda dengan orang lain,” sambungnya.

Perbedaan etnisitas dan agama misalnya, seringkali dianggap sebagai trigger (pemicu) ketidakharmonisan ditengah keberagaman. Juga banyak laku dalam kancah pergulatan kepentingan dikalangan elits politik. Akhir-akhir ini, dapat diamati bagaimana hal tersebut sungguh menjadi komoditas untuk menuju cita-cita politik para elits yang syarat kepentingan. Simbol-simbol etnistias dan agama dapat dijumpai dari atribut para caleg yang pada kenyataannya juga berasal dari latar belakang yang beragam. Bila demikian, haruskah kita mengkambinghitamkan perbedaan yang adalah pemberian-Nya sebagai biangkerok persoalan sosial yang cenderung menyeret etnisitas dan agama selama ini? Bagi saya, jawabannya tentu tidak layak!

Perbedaan sesungguhnya suatu hal yang lumrah. Berbeda itu biasa dan indah. Dalam keluarga saja, perbedaan itu terjadi. Perbedaan juga ada pada orang kembar sekalipun. Perbedaan akan menjadi masalah jika diperdebatkan dan dibeda-bedakan, atau diperlakukan tidak semestinya oleh yang namanya manusia itu sendiri. Perbedaan sedianya dimuliakan sebagai bentuk syukur pada-Nya yang telah menciptakan seisi bumi. Perbedaan akan menjadi ”mulia” ketika ada semangat penghargaan atas keberagaman yang diwujudnyatakan oleh setiap orang dalam bentuk cara yang beragam pula.

Sepanjang satu tahun terakhir (Januari-November 2008), wajah suram pluralisme seperti dilaporkan The Wahid Institut melalui catatan Zuhairi Misrawi (Koran Jakarta, 30 Desember 2008) sungguh pantastis. Pemetaan terhadap tantangan pluralisme, terutama mengenai fakta terhadap kelompok minoritas ada delapan bentuk; Pertama, terjadi 50 kasus pengecapan sesat terhadap kelompok yang dianggap berbeda atau tidak sepaham. Kedua, sebanyak 55 kasus kekerasan bernuansa agama yang menyebabkan kelompok minoritas menjadi korban aksi kekerasan oleh sebuah kelompok yang kerapkali menganggap diri ”penjaga akidah” dan refresentasi kalangan mayoritas. Ketiga, sebanyak 28 masalah merupakan bentuk regulasi bernuansa agama. Keempat, konflik tempat ibadah sedikitnya ada 21 kasua. Kelima, ada 20 kasus terkait dengan kebebasan berpikir dan berekspresi. Keenam, ada tujuh kasus terkait dengan (retaknya) hubungan antar umat beragama. Ketujuh, fatwa-fatwa yang dikeluarkan MUI, dan kedelapan, soal moralitas dan pornografi ada 17 kasus. Setidaknya fatwa tentang pluralisme oleh MUI kala itu turut menjadi tantangan bagi keberagaman itu sendiri. ”Sejak MUI mengeluarkan fatwa pengharaman pluralisme, relasi antar kelompok, khususnya antara kalangan mayoritas dan minoritas, baik dalam intra-agama, maupun antar-agama, mengalami keretakan dan guncangan yang cukup serius,” aku Zuhairi, Ketua Moderat Muslim Society dalam artikelnya.

Di Bumi Khatulistiwa, kondisi pilu masa lalu yang melibatkan berbagai pihak yang kebetulan memiliki identitas yang berbeda-beda masih membekas dalam ingatan. Bahkan masih tertingal dalam trauma masa lalu. Akhir-akhir ini, wajah pluraslime di daerah kita mengalami cobaan. Di Bumi Khatulistiwa beberapa bulan-pekan terakhir kasus Gg. 17 di Jalan Tanjungpura pasca pesta demokrasi November 2007 lalu sempat menjadi bulan-bulanan obrolan di warung kopi hingga masuk pemberitaan media massa.

SK Naga produk Walikota era Buchary melarang arakan naga yang berimbas panjang hingga saat ini menyisakan perdebatan. Pihak yang mendukung maupun menolak kebijakan tersebut untuk gigi dengan membawa simbol etnisitas tertentu. Perayaan dalam rangka Cap Go Meh pada tanggal 9 Februari nanti sedikit lega oleh karena pemerintah kota yang baru membuka ruang untuk perarakan naga meski dalam wilayah perarakan yang terbatas. Fenomena lain, di Kota Singkawang pembangunan patung naga masih dihadapkan soal pro dan kontra. Pun demikian, masih ada saja pihak yang berniat menggagalkan. Fenomena terbaru, fatwa MUI soal rokok dan golput mendapat reaksi yang beragam. Berbagai soal yang menyeret etnisitas dan agama sungguh-sungguh kental ditengah kondisi bangsa yang sedang terseok. Dalam era otonomi daerah melalui jalur pesta demokrasi, isu seputar putera daerah yang harus memimpin didaerah tersebut juga santer akhir-akhir ini. Akibatnya, kepentingan bermain dalam ranah sensitif yang akhirnya bersinggungan dengan etnisitas dan agama yang cenderung laku dijual untuk menggugah kedekatan emosional warga.

Sekelumit peristiwa tersebut adalah catatan kelam yang mau tidak mau menuntut sikap arif setiap komponen masyarakat. Apa salah etnisitas yang dimiliki, apa salah agama yang diimani oleh pengikutnya? Bukankah agama mengajarkan setiap umatnya untuk sungguh bertaqwa kepada-Nya? Pertanyaan refleksi, dimana warga negeri ini yang sebagian besar mengaku beragama? Padahal etnisitas dan agama lahir dari manusia itu sendiri yang sengaja memilih untuk berbeda.

Bicara soal perbedaan memang ribet, kompleks dan melelahkan. Dalam satu keyakinan yang sama saja, cara penghayatan keimanannya setiap orang cenderung berbeda-beda. Ini karena setiap orang punya kepala yang berbeda pula. Bukan hanya masyarakat biasa, para tokoh agama, tokoh masyarakat dan tokoh lainnya dalam sebutan yang berbeda juga sering kali cenderung ”menyesatkan”.

Wajah suram pluralisme perlu disulam secara bersama oleh setiap orang, oleh kita semua tanpa memperdebatkan perbedaan. Kebenaran universal sebaiknya didengungkan sebagai bagian prioritas yang harusnya disuarakan oleh orang-orang yang dianggap sebagai para ”tokoh” itu. Oleh kita semua. Tapi penyakitnya, menyatakan yang benar itu benar dan yang salah itu tetap salah seringkali berat dilakukan, apalagi bila bersinggungan dengan isu etnisitas atau agama. Bila demikian terus, apa jadinya kelak. Jati diri sebagai warga negara dan umat yang beragama dimana?

Konsep ”kekitaan” seperti gagasan DR. Yusriadi agaknya pas untuk mengerem potensi destruktif yang menjurus pada persoalan etnisitas dan agama. Kecenderungan untuk mengasihi seperti disampaikan Romo William Chang penting digalakkan, ketimbang kecenderungan untuk menghancurkan. Jalin kebersamaan dan hargai perbedaan kiranya dapat menjadi spirit bersama dalam menjalani kehidupan dalam dinamika yang penuh tantangan.

Untuk menyongsong sebuah perubahan yang baik atas kenyataan keberagaman, maka penghormatan terhadap perbedaan dengan menjunjung tinggi semangat persaudaraan sejati harus terus digulirkan oleh setiap anak manusia. Memulai dari disi sendiri, keluarga, kenalan dan orang lain. Menciptakan kondisi aman, damai dan tenteram adalah kewajiban bersama. Merekonstruksi perubahan menuju arah yang baik (hidup harmonis dalam keberagaman) dengan berupaya menyulam wajah pluralisme yang mengalami degradasi keretakan, hanya mungkin dilakukan oleh makhluk yang bernama manusia. Mengapa? Sebab akal sehat dan hati nurani hanya dimiliki manusia, dan hanya manusia yang memiliki tingkat kesadaran bahwa dirinya dan sesamanya memang berbeda. Bila kita sadar berbeda, kenapa harus dibeda-bedakan? Namun yang penting jangan sampai kita dicap sebagai makhluk yang menyerupai manusia. Selamat menjadi manusia. Selamat merayakan Cap Go Meh bagi saudara kita yang merayakannya.

*) Ketua Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) Santo Thomas More Pontianak.

Senin, 14 Juli 2008

Catatan dari Training CO ;

Pacu Kesadaran Kritis sebagai Peace Keeper

By. Hendrikus Adam

Panas terik dari pancaran nur sang surya persis berada diatas kepala, menjadi pertanda keberangkatan kami saat itu. Setelah melakukan perjalanan kurang lebih selama dua jam setengah dari arah Pontianak, saya bersama rekan-rekan peserta Training akhirnya tiba di Toho, persisinya tepat di sebuah kawasan Pusat Pengembangan Teknologi Arang Terpadu (PPT AT) milik Yayasan Dian Tama pada Rabu, 25 Juni siang. Di tempat ini saya bersama 30-an peserta lainnya dari wilayah sambas dan Landak dipertemukan. Sebuah rumah berbentuk pondok sederhana berdiri kokoh disana. Juga terdapat tiga bangunan lainnya yang memang dikhususkan untuk penginapan tamu, dan satu gedung aula. Disekitar kawasan ini terhampar lahan sawah, kolam ikan, areal pemeliharaan ternak babi dan sapi. Juga terdapat media pembuatan arang briket. Terdapat lokasi pembibitan tanaman, juga pepohonan buah-buahan tumbuh subur disana. Tempat ini memang dikhususkan sebagai tempat “pemberdayaan masyarakat” oleh pemilik Yayasan. Tempat dimana arang briket dikembangkan. tempat dimana, pelatihan dan diskusi sering diadakan. Dikawasan yang memang agak tertutup ini, tidak banyak orang yang menyangka kalau tempat ini memiliki arti tersendiri. Namun, banyak pula orang yang telah mendapatkan manfaat dari tempat ini, terutama untuk berbagai bentuk kegiatan masyarakat. Sebut saja; pelatihan, retret, dan berbagai kegiatan lainnya dapat terselenggara disini. Suasana yang tenang dengan udara segar menjadi suguhan alami. Pun demikian, tempat ini tidak luput dari penerangan yang disuplay oleh negara (PLN).

Ditempat ini, tepatnya di Aula Enggang prosesi pelatihan CO dilangsungkan. Kami yang dari beragam latar belakang khususnya dari wilayah Kota Pontianak, Sambas dan Landak terlarut dalam kegiatan yang digagas oleh lembaga pendidikan pergerakan rakyat (eLPaGaR) yang berlangsung selam tiga hari. Saling berkenalan dan berbagi pengalaman menjadi bagian dari proses ini. Disini juga menjadi bagian pintu masuk untuk saling mengenal satu dengan lainnya. Beragam kepala dari latar belakang yang beragam boleh saling mengerti dan saling memahami. Tidak satupun yang menginginkan persoalan detruktif (konflik) muncul kembali. Cukup sudah pengalaman pahit masa silam. Sebuah konflik destruktif komunal masa silam disadari cukup menyakitkan. Sebuah moment yang tidak pernah pandang bulu. Persoalan latar belakang yang beragam disadari bukanlah soal dalam mewujudkan perdamaian. Saling merangkul satu dengan lainnya menjadi mutlak diusung secara bersama.

Masyarakat yang rentan terprovokasi penting untuk diorganisir. Peserta diajak untuk saling memahami perbedaan yang adalah pemberian kodrati yang tidak dapat dibantah menjadi bagian dari identitas diri setiap orang yang tidak perlu ditutup-tutupi, apalagi di perdebatkan. Perbedaan itu sedianya pantas disukuri sebagai bagian dari anugerah-Nya. Sebuah pelatihan yang ditujukan untuk meningkatkaan daya kritis para aktivis perdamaian untuk membangun perdamaian di bumi Khatulistiwa khususnya. Hadirin yang hadir sebagai peserta diharapkan dapat menjadi Peace Keeper (penjaga perdamaian) atas berbagai kemungkinan konflik destruktif komunal yang mungkin saja terjadi setiap saat. “Konflik itu penuh persepsi, penuh isu-isu dan dugaan-dugaan. Dengan upaya ini (pelatihan) setidaknya kita dapat menjadi orang yang pertama-tama tidak mudah terpancing isu-isu yang bisa saja makin memperkeruh suasana. Dapat saling memahami perbedaan dan tidak menyelesaikan dengan cara-cara kekerasan,” tegas Furbertus Ipur, Direktur eLPaGaR.

Peserta pelatihan kali ini memang relatif sedikit bila dibandingkan dengan luasnya daerah di Kalimantan Barat yang masing-masing punya potensi yang sama atas kemungkinan terjadinya konflik yang destruktif. Namun demikian, melakukan sesuatu berawal dari jumlah yang kecil menjadi penting. Melalui hal kecil diharapkan dapat menjadi besar. Semakin banyak orang yang menyuarakan untuk senantiasa mewujudkan damai bagi yang lainnya. Pelatihan pengorganisasi (an) rakyat/Community Organizer yang menyertakan para stakeholder jaringan Early Warning System (EWS) tiga wilayah (Pontianak, Landak, Sambas) merupakan bagian dari program Sistem Peringatan Dini Konflik Komunal (SPDKK) dalam kerangka membangun kesadaran kritis bagi para peace keeper untuk dibekali sebagai pengorganisir. Keberpihakan CO sangat jelas, yakni terfokus pada pemuliaan manusia (humanisasi).

Memahami perbedaan

Pola warisan pendidikan dimasa Orde Baru (Orba) boleh menjadi sebuah refleksi atas pemahaman akan sebuah realitas perbedaan yang kita alami saat ini. Sebuah perbedaan masa lalu cenderung disamaratakan atau diseragamkan. Lihat saja penyeragaman yang dilakukan di lembaga pendidikan formal, khususnya bagi para peserta belajar. Pakaian dan peraga lainnya diharapkan sama, seragam. Keseragaman dimasa lalu itu dikritisi Furbertus Ipur dalam fasilitasinya. “Dimasa Orba kita tidak diajarkan untuk memahami bahwa kita memang berbeda antara satu sama lain, agama satu dengan lainnya cenderung disamaratakan; sama baiknya. Padahal memang berbeda. Kita tidak pernah diajari untuk memahami bahwa perbedaan adalah suatu hal yang alami,” tegasnya.

Muhammad dalam kesempatan yang sama mengurai, perbedaan tidak mesti harus dipertentangkan secara konfrontatif, namun perbedaan harus dipahami sebagai “konflik” yang bisa dikelola. Melalui perbedaan dikatakan akan melahirkan kreatifitas yang dapat memunculkan semangat dialog. Pluralitas (keberagaman) menurut Muhammad tidak dapat dipungkiri, dan hal itu perlu terus dibangun dalam wujud komunikasi yang sinergis satu dengan yang lainnya. Untuk membangun pemahaman tentang pluralisme, ditegaskan perlu dilakukan dialog yang kreatif dan intensif. Sebuah perdamaian tidak hanya tercipta dengan sendirinya karena kondisi natural, namun harus dibuat dan mesti menjadi keinginan bersama.

“Memahami pluralisme itu tidak susah. Dengan banyaknya perbedaan, kita semakin memahami satu dengan lainnya. Perbedaan yang kalau tidak dipahami dengan baik, maka itu yang dapat menjadi potensi konflik,” ulas Hardi Suja’i, tim ahli SPDKK menyampaikan materinya.

Asumsi dasar dan Komitmen

Sebagai suatu hal yang alami yang selalu hadir terutama dalam diri dan lingkungan kita, konflik cenderung dibutuhkan; dibutuhkan untuk sebuah perubahan yang lebih baik. Namun demikian, konflik yang cenderung destruktif menjadi hal yang harus diantisipasi. Jangan sampai terjadi. Beberapa asumsi dasar sebuah konflik penting dipahami, dimana konflik; selalu ada dan memiliki sifat bawaan, menciptakan perubahan, memiliki dua sisi (bahaya-peluang), menciptakan energi, diperngaruhi oleh pola; emosi, kepribadian dan budaya, konflik seperti drama dan konflik cenderung menggugah kita untuk melakukan sesuatu. Demikian pula sumber sebuah konflik, yang menurut Furbertus Ipur sedikitnya ada lima hal yang saling terkait; 1) masalah hubungan antar manusia, 2) masalah kepentingan, 3) masalah data, 4) masalah perbedaan nilai dan 5) masalah structural.

Melalui pelatihan, orang yang melakukan pengorganisasian terhadap warga (Community Organizer) dalam orientasinya guna mewujudkan perdamaian bagi lingkungannya diharapkan mampu memahami problem konflik yang mungkin muncul. Membuat rakyat disekitarnya menjadi terorganisir dan tidak mudah untuk dipecah belah bukan pekerjaan mudah. Perlu kejelian dan kemampuan yang mumpuni. Kerja CO mendapat tantangan tersendiri, meski disadari bukanlah sebuah hal yang harus ditakuti. Sebuah hasil bukanlah tujuan bagi seorang CO, namun rangkaian proses yang benar menjadi sangat penting untuk dilakukan. Sebuah proses yang cenderung apik, akan membuahkan sebuah hasil yang tentunya dapat lebih baik.

Jamiat, salah satu peserta dari Sambas mengurai komitmennya. Dengan bergabung di SPDKK, dirinya berharap untuk senantiasa bisa bersama terlibat dalam memperjuangkan pluralisme dan perdamaian. Pendidikan orangtua yang diterimanya, turut membentuk dirinya sebagai pribadi yang mau memahami pluralisme.

Demikian pula peserta lainnya turut sepakat, bahwa perdamaian adalah cita-cita bersama setiap orang. Perdamaian perlu terus dipelihara dan diciptakan bersama, tanpa harus memperdebatkan realitas perbedaan dari keragaman latar belakang yang ada. Dengan mau mencoba memahami perbedaan dan saling menerima bahwa setiap orang dengan latar belakangnya yang berbeda adalah unik, maka rasa damai akan sungguh-sungguh bisa terwujud. Sisi lain dari pelatihan ini, juga sebagai media untuk saling meneguhkan. Mempererat tali kebersamaan, saling megenal satu dengan lainnya. Lebih penting dari itu, kegiatan ini adalah media untuk memicu diri peserta untuk menjadi penjaga perdamaian (peace keeper).

Selasa, 20 November 2007

Pelajaran Dari Pesta Demokrasi Kalbar

By. Hendrikus Adam


Pilkada Gubernur Kalimantan Barat 15 November 2007 lalu baru kita lewati. Momen penting yang pertama kalinya dihelat secara langsung untuk pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur di Bumi Khatulistiwa ini sedianya bisa membawa angin segar perubahan bagi masyarakat Kalbar. Namun demikian, dengan telah bergulirnya lonceng reformasi selama hampir sepuluh tahun (1998-2007) tidaklah cukup sebagai sebuah jaminan membaiknya sistem demokrasi di Indonesia umumnya dan Kalbar khususnya. Tidak sedikit ditemui ”keanehan-keanehan” yang tidak sewajarnya terjadi, khususnya bila melihat pelajaran dari Pilgub yang baru berlalu. Hak sebagai warga negara untuk terlibat memberikan hak pilih misalnya, masih terkesan ”pilih kasih” diberikan. Persoalan ini adalah hal mendasar mewarnai proses pesta demokrasi kali ini. Mungkinkah ada misi pesanan dibaliknya pendataan pemilih yang dilakukan?

Wajah demokrasi dalam kaitannya dengan partisipasi publik memang begitu asik untuk diicarakan. Disatu sisi, warga dituntut untuk berpartisipasi dalam perhelatan pesta demokrasi dengan memberikan hak suaranya saat pemilihan, disisi lain banyak diantaranya yang merasa haknya terabaikan karena tidak diberi kesempatan untuk memilih, termasuk kalangan mahasiswa asal daerah yang mengenyam pendidikan di jantung kota ini pun harus terkena getahnya karena tidak terdata oleh aparat RT. Contoh kasus ini misalnya dialami kalangan mahasiswa di lingkungan Sepakat 2, Keluragan Bangka Belitung yang notabenenya telah menjadi warga setempat justeru tidak diberi kesempatan memberikan hak suara. Tidak terdata dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) menjadi soal. Bahkan menurut keterangan aparat setempat, pihaknya memang tidak melakukan pendataan karena berdasarkan pengalaman pemilu sebelumnya aparat RT setempat mengkleim banyak hak suara yang tidak digunakan (terutama oleh kalangan mahasiswa) sehingga kertas suara pun banyak tersisa. Dilain pihak kita jumpai pula anak berusia belum layak (3 tahun), malah memiliki kartu pemilih. Selanjutnya, di kelurahan Sei Beliung pada TPS 51 pemilihan diulang kembali lantaran adanya 23 orang pemilih yang tidak terdata dalam DPT justeru diberi kesempatan menggunakan hak suara yang menurut ketentuan undang-undang (pengumuman edaran KPU) tidak dibolehkan.

Pengalaman berharga lainnya adalah sikap sang kandidat Gubernur Oesman Sapta Odang yang saya rasa pantas menjadi pelajaran dan direfleksi bagi penegakan demokrasi di Kaliamantan Barat ini. Mengaku menggunakan KTP Jakarta saat melamar Calon Gubernur, pengusaha sukses ini merasa selayaknya tidak terdaftar sebagai pemilih, namun pada kenyataannya malah terdaftar dengan tersedianya kartu pemilih baginya. OSO tidak mau menggunakan hak pilihnya dengan alasan tidak mau ”menciderai” demokrasi karena menurutnya bertentangan dengan ketentuan. Pilihan OSO adalah sebuah pilihan yang rasional. persoalannya memang sepele, namun syarat makna, terutama untuk proses penegakan demokrasi di Kalbar.

Sederet catatan diatas adalah bagian kecil dari fenomena Pilgub Kalbar hari ini yang mestinya menjadi Pekerjaan Rumah (PR) bersama untuk kedepan. Munculnya persoalan tersebut hemat penulis salah satunya dikarenakan validitas data tidak dilakukan dengan sungguh-sungguh oleh pihak yang berkompeten, dimana nilai-nilai kejujuran (independensi) petugas yang diberi kewenangan untuk melakukan pendataan semestinya mutlak dimiliki untuk menghindari terjadinya rekayasa data.

Demikian pula untuk kasus bagi kalangan mahasiswa daerah yang tidak berkesempatan untuk memberi hak suaranya karena situasi/kondisi yang tidak memungkinkan (misal: alasan ekonomis yang bertepatan dengan masa Mid Test), semestinya pihak KPUD bersama pihak Kampus bisa memikirkan alternatif sejak jauh hari, misalnya dengan mengadakan fasilitasi pemungutan suara di tingkat Fakultas/kampus. Namun karena ini tidak dilakukan, maka jangan heran bilamana banyak diantaran rekan-rekan mahasiswa tidak memberikan hak pilihnya dan bahkan ada yang menyatakan diri menjadi bagian dari kelompok GOLPUT.

Dengan kondisi ini, harus disadari sistem pendataan pemilih yang dilakukan masih jauh panggang dari api. Aparat yang diberi mandat masih belum siap menjalankan amanah yang diberikan. Berbagai kegelisahan warga yang merasa tidak diperlakukan secara adil dengan diabaikannya hak pilih mereka telah membuktikan kegagalan petugas pendata dan aparat terkait. Oleh karenanya menjadi penting untuk pelajaran kedepan agar pengalaman Pilgub hari ini bisa petik bersama untuk pesta demokrasi berikutnya yang lebih baik.

Untuk itu, hal utama suksesnya sebuah pesta demokrasi menurut penilaian penulis harus berangkat dari data pemilih yang valid/akurat sebagai hasil dari upaya kejujuran, tanpa disertai rekayasa. Oleh karenanya, aparat RT dan lainnya yang diberi tugas melakukan pendataan semestinya pula adalah orang-orang yang terbebas dari ikatan kepentingan pihak manapun (independen), bukan orang-orang pesanan. Dengan data yang valid, maka untuk selanjutnya jiwa besar, budaya damai, saling menghargai pilihan, tidak mudah terprovokasi, dan menjunjung tinggi nilai serta ketentuan yang berlaku akan menjadikan pesta demokrasi sungguh-sungguh adil dan bermartabat seperti yang diharapkan.

Usainya pilgub kali ini semestinya pula dimaknai sebagai sebuah media untuk bersama-sama saling mengintropeksi diri. Perbedaan kepentingan saat berlangsungnya pilkada menjadi sebuah hal yang lumrah. Namun tidak dapat ditapik pula bahwa perbedaan kepentingan tersebut sesungguhnya bermuara pada satu tujuan bersama yakni untuk kepentingan bersama Kalimantan Barat (semoga saya tidak salah).

Dengan berakhirnya rangkaian pemilihan dengan suasana damai paling tidak boleh menjadi indikasi bahwa warga Kalimantan Barat yang terdiri dari beragam latar belakang telah sukses mengawal proses Pilgub walaupun disisi lain masih menyisakan kekurangpuasan dibeberapa kalangan sebagai sebuah fenomena yang normatif-rasional. Terlebih dengan belum finalnya hasil rekapitulasi yang dilakukan lembaga penyelenggara Pilgub (KPUD). Penantian bersama atas hasil Pilgub menurut jadual KPUD Kalbar akan mencapai puncaknya pada 27 November 2007 mendatang.

Sebagai sebuah sebuah konsekuensi logis dari sebuah pertarungan di Pentas Politik, para kandidat memang harus bersabar dan mau bersikap dewasa. Jiwa besar menjadi penting ditanamkan untuk menghadapi sebuah realita. Dengan jiwa besar pula akan semakin memantapkan bagaimana pelajaran Pilgub kali ini dapat membekas dan dimaknai secara positif. Tidak ada yang merasa lebih rendah karena belum berhasil, demikian sebaliknya, tidak ada yang merasa hebat sendiri lantas membusungkan dada.

Dengan dibukanya ruang bagi setiap diri (para kandidat dan timnya) untuk menyadari realita yang ada setidaknya dapat menjadi jalan untuk bagaimana kesuksesan Pilgub yang berjalan damai boleh menjadi kemenangan bersama warga Kalimantan Barat. Menang bersama bagaimana membawa Kalbar kearah yang lebih baik tanpa harus gontok-gontokan. Karena siapapun yang terpilih menjadi Gubernur-Wakil Gubernur, sejatinya adalah pemimpin bagi seluruh warga Kalbar. Biarlah pengalaman Pilgub menjadi pelajaran yang berarti bagi kita semua dan mari kita songsong Pemimpin baru didaerah ini dengan kepala dingin atas hasil demokrasi. Mulailah menjadi juru Damai. []

*) Penulis; Sekretaris Jenderal PMKRI Santo Thomas More Cabang Pontianak 06/07, anggota Jaringan Rakyat Untuk Keadilan dan Perdamaian (JRKP), Tinggal di Asrama Santo Boneventura Sepakat Pontianak, Kalimantan Barat.

Kamis, 15 November 2007

Menjadi Juru (Kampanye) Damai

by. Hendrikus Adam BR*

Hari ini tepatnya 15 November 2007, segenap warga Kalimantan Barat diberi kesempatan untuk menggunakan hak pilihnya sebagai warga negara dalam proses Pemilihan Langsung Kepala daerah (Gubernur dan Wakil Gubernur) yang untuk pertamakalinya dilakukan secara langsung di Bumi Kalimantan Barat. Momen yang merupakan puncak dari rangkaian kampanye yang dihelat selama kurang lebih 14 hari sebelumnya ini adalah babak akhir sekaligus penentu bagi empat pasang kandidat Gubernur-Wakil Gubernur, memuju KB 1. Kalau pada saat kampanye baik para kandidat, tim kampanye, simpatisan masing-masing peserta Pilgub lebih banyak berebut mempromosikan kandidat yang didukungnya masing-masing dengan dengan berbagai media yang ada, maka pada hari ini dan seterusnya yang terpenting dan semestinya menjadi tujuan bersama yang harus dicapai adalah bagaimana segenap elemen masyarakat menyambut PIlgub ini dengan hati yang terbuka penuh damai. Menghindari prasangka-prasangka buruk terhadap satu dengan lainnya akan semakin baik untuk di perhatikan bersama, dimana kampanye damai menjadi layak di gulirkan segenap elemen masyarakat bahwa Pilgub merupakan tanggungjawab bersama.

Harus disadari pula, bahwa pesta demokrasi yang memuat nilai-nilai politis didalamnya senantiasa terkait erat dengan berbagai macam kepentingan yang satu dengan lainnya tentu dalam satu sisi tertentu memang sangat berbeda, namun bila dilihat dari sisi lain tentu kita juga tidak memungkiri yakni adanya keinginan bersama untuk membangun Kalimantan Barat yang lebih baik dan beradab. Karenanya menyikapi persoalan seperti ini, maka adalah sangat rasional bilamana rakyat Kalbar dengan cerdas tidak mudah diprovokasi oleh berbagai isu-isu miring yang dapat memecah belah keutuhan dan eksistensi warga Kalimantan Barat khususnya dan NKRI umumnya.

Memilih pemimpin berdasarkan hati nurani tanpa harus membeda-bedakan identitas masing-masing adalah sebuah catatan pentignya atas penghayatan terhadap eksistensi demokrasi yang selama ini kita dengungkan yang harus dielaborasikan dalam setiap tingkah laku, sikap dan tindakan sebagai manusia yang beradab. Dengan adanya ruang seperti ini maka setidaknya telah memberikan celah "kemerdekaan" bagi setia insan di muka bumi ini ata kebebasan yang selalu dinantikan sebagai manusia yang bermartabat sama.

Pesta demokrasi kali ini menjadi sangat menarik di refleksikan bersama sebagai sebuah proses pembelajaran bersama untuk mau bersabar, memahami akan keberagaman, saling menghargai, saling percaya dan saling mengingatkan antar satu dengan yang lainnya yang untuk selanjutnya menuntut sebuah komitmen bersama yakni JIWA BESAR untuk mau saling menerima sebagai hasil akhir dari sebuah "pertarungan" politik. Dimana, setiap konsekuensi berupa kekalahan maupun kemenangan dalam sebuah pesta.

Pada kenyataannya tidak bisa ditapik pula bahwa beragam warga Kalbar dengan latar belakang yang berbeda turut serta dalam proses ini yang terelaborasi pada masing-masing kubu dalam mendukung kandidat yang dijagokan. namun demikian, terlepas dengan kondisi tersebut kepentingan bersama pada hari ini maupun pasca pemilihan yang perlu menjadi cita-cita bersama yakni terwujudnya Pilgub Kalbar yang damai, aman dan bermartabat hendaknya menjadi pilihan penting yang harus diusung secara bersama.

Untuk itu, melalui kampanye pemenangan masing-masing kandidat yang sebelumnya pernah dilangsungkan selama 2 minggu, maka kali ini kampanye untuk kemenangan bersama warga Kalbar (Pilgub Kalbar yang damai, aman dan bermartabat) perlu pula didaraskan secara bersama oleh warga Kalbar dengan mencoba menjadi Juru (kampanye) Damai yang boleh dimulai pada diri sendiri kemudian pada saudara, keluarga, tetangga, komunitas masyarakat sidekitar kita. Kampanye (damai) ini perlu terus digulirkan sepanjang massa melalui sikap, prilaku dan pikiran positif untuk mewujudkan kehidupan masyarakat yang egalitear, saling menghargai dan beradab di Kalimantan Barat.


Hendrikus Adam
*) Sekretaris Jenderal PMKRI Cabang Pontianak, Anggota Jaringan Rakyat Untuk Keadilan dan Perdamaian (JRKP) Pontianak.

Kamis, 08 November 2007

Mari Wujudkan Pilkada Kalbar yang Damai


Pesta demokrasi pemilihan langsung kepala daerah di Kalimantan Barat untuk periode 2008-2013 akan segera ditabuh 15 November 2007 mendatang. Banyak harapan dan cita-cita warga Kalbar yang harus diperjuangkan para bakal calon Gubernur Kalbar mendatang. Setiap kandidat mempunyai kesempatan dan hak yang sama dalam serta punya peluang yang sama dalam menduduki posisi menjadi KB 1.

Untuk merebut kursi panas tersebut, tentunya setiap pasang kandidat harus bersabar, menahan diri dan tidak gampang emosi. Yang terpenting setiap kandidat harus punya komitmen untuk mau bersikap menjadi "pemenang sejati" yang memiliki JIWA BESAR. Siap menang dan siap pula menerima kekalahan adalah syarat mutlak yang harus dipegang dalam "pertarungan" di alam demokrasi. Jiwa besar dari para kandidat tersebut hanya akan terbukti pasca pemilihan dan hanya waktu yang bisa menjawabnya. Segenap rakyat Kalbar juga punya peran dalam mewujudkan Kalbar yang damai tanpa konflik ditengah maraknya suasana menjelang Pilkada.

Untuk itu melalui tulisan ini saya mengajak segenap warga Kalbar untuk:
  1. Bersama menjaga dan mempertahankan kondisi Kalbar yang kondusif saat ini.
  2. Jangan mudah terprovokasi oleh berbagai isu-isu negatif yang menyesatkan.
  3. Pilihlah kandidat yang anda anggap bisa membawa Kalbar lebih baik sesuai hati nurani.
  4. Meminta setiap pasangan kandidat Gubernur-Wakil Gubernur, tim sukses dan warga Kalbar untuk berjiwa besar menerima setiap keputusan yang bersumber dari pilihan rakyat.
  5. Hargai pilihan saudara, teman, keluarga, kenalan anda dengan memberikan kebebasan hakiki sebagai manusia tanpa perlu harus mencederai perasaan relasi anda yang juga punya hak dan martabat yang sama sebagai manusia.
  6. Mari maknai setiap perbedaan adalah anugerah, termasuk perbedaan dalam menyampaikan hak pilihnya.

"Mari Wujudkan Pilkada Gubernur-Wakil Gubernur Kalimantan Barat yang damai dan bermartabat"

Adam "Pencinta Damai"

Pendidikan Multikultur Mahasiswa Lintas Etnis

Hargai perbedaan, wujudkan perdamaian dan rekonsiliasi yang merupakan tanggung jawab bersama sebagai makhluk yang bermartabat.



by. Hendrikus Adam Barage Repo

Memahami keberagaman dan saling menghargai perbedaan adalah bagian dari keharusan sebagai prasyarat untuk terwujudkan perdamaian dalam masyarakat yang pluralis seperti halnya di Kalimantan Barat yang pernah mengalami suramnya kehidupan sosial akibat pertikaian komunal yang disertai simbol etnisitas. Modul pendidikan perdamaian dan rekonsiliasi untuk aktivis CU misalnya menyebutkan sedikitnya 13 kali konflik yang bermuara pada persoalan etnis. Keberagaman latar belakang dapat menjadi energi postif maupun sebaliknya (negatif) bilamana tidak ditempatkan pada porsi yang sebenarnya. Oleh karenanya kesepahaman mengenai keberagaman menjadi penting adanya dengan melibatkan multi pihak. Kaum muda (mahasiswa) adalah satu diantaranya. Memberikan kesadaran mengenai pentingnya membangun perdamaian dan rekonsiliasi dengan tujuan agar perdamaian dan rekonsiliasi berkelanjutan di Kalimantan Barat dipahami sebagai tanggungjawab bersama adalah sasaran yang ingin dicapai dalam kegiatan Pendidikan Perdamaian dan Rekonsiliasi Mahasiswa Multi Etnis yang digelar Aliansi NGO Untuk Perdamaian dan Rekonsiliasi (ANPRI) bertempat di gedung Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan (LPMP) Kalbar pada Jumat, 2-4/11 lalu.

Pendidikan perdamaian yang diprakarasi ANPRI yang terdiri dari Mitra Sekolah Masyarakat (MiSeM), Institul Dayakologi (ID), PEK Pancur Kasih, Lembaga Gemawan, SEGERAK dan BK3D Kalimantan kali ini merupakan langkah perdana untuk menciptakan juru damai di kalangan kaum muda khususnya mahasiswa. Pendidikan sebelumnya setidaknya telah dilakukan, terutama bagi kalangan aktivis Credit Union. Sedikitnya sebanyak 36 peserta dari berbagai latar belakang keluarga, kampus, etnis dan agama menyatu dalam kegiatan yang difasilitasi Subro (Direktur MiSeM), Edi V Petebang (Direktur ANPRI) dan Julia (Aktivis Institut Dayakologi). Dengan metode yang sangat cair oleh fasilitator, peserta dapat dengan leluasa menikmati materi demi materi yang disuguhkan. Diantara materi tersebut, peserta diajak menyelami seputar informasi tentang Hak Asasi Manusia (HAM), Globalisasi, Ekonimi Kapitalis vs Ekonomi Kerakyatan dan Pendidikan Multikultur yang dilakukan baik melalui penyampaian materi, diskusi kelompok, maupun melalui pemutaran film. Peserta juga diajak menyelami akar dan potensi konflik yang ada di Kalimantan Barat.

Seperti dikatakan Direktur ANPRI, Edi V Petebang, kegiatan pendidikan perdamaian untuk kalangan mahasiswa tersebut bukanlah kali yang terakhir, karena menurut dia kedepan akan kembali digelar dengan melibatkan peserta yang berbeda. “Melalui kegiatan ini semoga menjadi awal baru untuk mulai berbuat dari diri sendiri, keluarga dan masyarakat. Mari kita peduli terhadap sesama kita. Melalui kegiatan ini pula kita diharapkan mampu menjernihkan streotipe-streotipe negatif terhadap etnis kita maupun etnis lainnya yang berkembang” pinta alumnus FISIP Untan yang juga sebagai anggota Komnas HAM Kalbar ini.

Direktur MiSeM, Subro yang juga selaku ketua panitia memandang pentingnya peranserta masyarakat terutama kalangan kaum muda (mahasiswa) dalam memaknai streotipe-streotipe yang berkembang secara lebih jernih. Mari menarik diri masing-masing dari streotipe negatif dengan menumbuhkan pemikiran positif bahwa dimata setiap orang sesungguhnya ada cinta. Mari kita menjadi Juru Damai,” ajaknya. Hal sama disampaikan Julia. Menurut aktivis Institut Dayakologi asal etnis Tionghoa ini, kaum muda (mahasiswa) mestinya memiliki pembinaan yang lebih maju sebagai kaum terpelajar. Dikatakan, dirinya merasa sangat optimis kalau akhirnya bisa mengikis pelan-pelan streotipe-streotipe negatif yang kini masih berkembang dimasyarakat.

Meskipun berlangsung singkat, kegiatan ini diyakini telah memberi manfaat bagi peserta akan pentingnya saling menghargai dalam keberagaman. Seperti halnya Novita dan Agustina. Saat dimintai komentarnya, keduanya telah menerima sisi positif dari kegiatan tersebut. Disamping bisa saling kenal antar peserta dengan latar belakang yang berbeda, dikatakan pula bertambahnya wawasan mengenai perbedaan. Keduanya berharap agar kegiatan tersebut dapat kembali dilaksanakan. “Usai kegiatan ini kita akan mencoba mengajak dan berbagi pengalaman dengan rekan-rekan lainnya untuk bersama-sama memahami pentingnya menanamkan budaya damai dan saling menghargai perbedaan,” pungkas Novita.

Peserta lainnya, Qomaruzzaman menilai pendidikan perdamaian sangat tepat diberikan kepada kalangan kaum muda (mahasiswa) yang mana bila belajar dari pengalaman konflik, kaum muda menurutnya selalu terkait didalamnya. Keberadaan kaum mahasiswa dikatakan pula memiliki peran strategis karena selalu diidentikkan dengan agen og change atau corongnya perubahan. Melalui kegiatan pendidikan perdamaian, sosok yang juga ketua Himpunan Mahasiswa Madura (HIMMA) ini berharap peserta dapat membantu meluruskan streotipe-streotip yang berkembang dimasyarakat dan memberi pencerahan bagi masyarakat. Perdamaian dalam keberagaman adalah harapan yang menjadi kerinduan bersama warga.

Rabu, 10 Oktober 2007

Wujudkan Pilkada Damai

"Mari Wujudkan Pilkada Damai Tanpa Konflik"

Pilkada damai menjadi harapan atau keinginan setiap orang, benarkah? Pertanyaan ini terkesan memang sedikit “ngawur”, namun saya rasa pantas direfleksikan. Jawabannyapun demikian beragam, bisa benar dan bisa pula tidak benar. Kedamaian berlangsungnya pilkada setidaknya bukan hanya menjadi harapan atau keinginan semata. Namun tindakan nyata melalui sikap, prilaku, keputusan, kebijakan dengan memperhatikan kebebasan berlandaskan norma-norma ideal yang bercermin pada etika untuk mewujudkannya menjadi penting, karena bila tidak dibarengi dengan hal demikian, maka jawabannya bisa saja menjadi sebaliknya (tidak benar).

Singkat kata, pilkada yang damai akan dapat terwujud bila dibarengi dengan tindakan nyata yang diwujudkan melalui kesungguhan sikap dalam tindakan dan prilaku serta keputusan yang memerdekakan setiap pribadi. Tanpa dibarengi sikap propokatif yang bisa berdampak merugikan banyak pihak. Namun demikian, pilkada damai semestinya tidak cukup bila hanya difahami sebagai suatu kondisi tidak terjadinya konflik secara fisik pada tingkat masyarakat, akan tetapi perlu dipahami secara lebih konperhensif (menyeluruh) yang menyangkut stabilitas keamanan, perasaan, rasa emosional yang melibatkan dan memerdekakan partisipasi seluruh elemen masyarakat. Pada kondisi ideal seperti ini, kemerdekaan yang bersumber dari hati nurani menjadi mutlak. Maka tidak heran bila ada saja pernyataan yang selalu disampaikan “Berikan Pilihanmu Berdasarkan Hati Nurani”. Sebuah sikap terdalam yang sarat makna, karena menyibak eksistensi manusia yang berbekalkan hak-haknya sebagai manusia (HAM) yang mendapat pernghargaan. Dalam arti lain, eksistensi manusia sebagai makhluk sosial dihargai.

Pilkada damai hanya mungkin terwujud bilamana dalam prosesnya mampu menghargai kaidah/norma-norma ketentuan hukum, menjunjung tinggi nilai-nilai kekebasan/demokrasi dan nilai kemanusiaan. Setiap orang yang diberi kebebesan, diberikan haknya untuk menentukan pilihan sendiri, akan turut merasa menang sekalipun kandidat yang dipilihnya agungkannya belum diberi kesempatan untuk menang.

Kemerdekaan hati nurani setidaknya digariskan seperti termaktub dalam pasal 28i ayat 1 UUD 1945 yang berbunyi; “…hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani …adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.” Jadi sesungguhnya, kebebasan untuk menentukan pilihan berdasarkan hati nurani telah digariskan.

Oleh karenanya, bila setiap warga diberi kesempatan untuk mencurahkan keputusan berdasarkan hati nuraninya, mengikuti kata hatinya, diberi kesempatan untuk menghargai perbedaan (termasuk pilihan) dan menjunjung tinggi nilai-nilai multicultur, maka peluang pilkada damai yang diharapkan sangat mungkin terwujud. Karena bila hal tersebut diberikan, maka rasa puas setiap warga dengan sendirinya akan muncul, sebab pilihan yang dilakukan didasarkan atas kesadaran. Untuk itu, menyongsong Pilkada November mendatang peran kita semua (warga Kalbar), para pendukung, para kandidat serta kalangan elit yang dijadikan Public Pigure bisa memberikan teladan dengan menghargai nilai-nilai perdamaian, demokrasi, kemerdekaan tanpa harus menunjukkan ambisi yang berlebihan yang dapat merugikan diri sendiri maupun masyarakat luas. Mari jaga bersama, jangan mudah terprovokasi dengan isu-isu destruktif dan menyesatkan yang sangat mungkin muncul akhir-akhir ini. Mari wujudkan Pemilihan langsung kepala daerah yang damai, merdeka dan bertanggungjawab dengan tetap mengedepankan nilai-nilai dan hak asasi manusia.

Hendrikus Adam BR,
Sekretaris Jenderal PMKRI Cabang Pontianak 06/07, Anggota JRKP, dan
Anggota Sahabat Lingkungan Kalbar (SALAK)