Kamis, 08 November 2007

Pendidikan Multikultur Mahasiswa Lintas Etnis

Hargai perbedaan, wujudkan perdamaian dan rekonsiliasi yang merupakan tanggung jawab bersama sebagai makhluk yang bermartabat.



by. Hendrikus Adam Barage Repo

Memahami keberagaman dan saling menghargai perbedaan adalah bagian dari keharusan sebagai prasyarat untuk terwujudkan perdamaian dalam masyarakat yang pluralis seperti halnya di Kalimantan Barat yang pernah mengalami suramnya kehidupan sosial akibat pertikaian komunal yang disertai simbol etnisitas. Modul pendidikan perdamaian dan rekonsiliasi untuk aktivis CU misalnya menyebutkan sedikitnya 13 kali konflik yang bermuara pada persoalan etnis. Keberagaman latar belakang dapat menjadi energi postif maupun sebaliknya (negatif) bilamana tidak ditempatkan pada porsi yang sebenarnya. Oleh karenanya kesepahaman mengenai keberagaman menjadi penting adanya dengan melibatkan multi pihak. Kaum muda (mahasiswa) adalah satu diantaranya. Memberikan kesadaran mengenai pentingnya membangun perdamaian dan rekonsiliasi dengan tujuan agar perdamaian dan rekonsiliasi berkelanjutan di Kalimantan Barat dipahami sebagai tanggungjawab bersama adalah sasaran yang ingin dicapai dalam kegiatan Pendidikan Perdamaian dan Rekonsiliasi Mahasiswa Multi Etnis yang digelar Aliansi NGO Untuk Perdamaian dan Rekonsiliasi (ANPRI) bertempat di gedung Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan (LPMP) Kalbar pada Jumat, 2-4/11 lalu.

Pendidikan perdamaian yang diprakarasi ANPRI yang terdiri dari Mitra Sekolah Masyarakat (MiSeM), Institul Dayakologi (ID), PEK Pancur Kasih, Lembaga Gemawan, SEGERAK dan BK3D Kalimantan kali ini merupakan langkah perdana untuk menciptakan juru damai di kalangan kaum muda khususnya mahasiswa. Pendidikan sebelumnya setidaknya telah dilakukan, terutama bagi kalangan aktivis Credit Union. Sedikitnya sebanyak 36 peserta dari berbagai latar belakang keluarga, kampus, etnis dan agama menyatu dalam kegiatan yang difasilitasi Subro (Direktur MiSeM), Edi V Petebang (Direktur ANPRI) dan Julia (Aktivis Institut Dayakologi). Dengan metode yang sangat cair oleh fasilitator, peserta dapat dengan leluasa menikmati materi demi materi yang disuguhkan. Diantara materi tersebut, peserta diajak menyelami seputar informasi tentang Hak Asasi Manusia (HAM), Globalisasi, Ekonimi Kapitalis vs Ekonomi Kerakyatan dan Pendidikan Multikultur yang dilakukan baik melalui penyampaian materi, diskusi kelompok, maupun melalui pemutaran film. Peserta juga diajak menyelami akar dan potensi konflik yang ada di Kalimantan Barat.

Seperti dikatakan Direktur ANPRI, Edi V Petebang, kegiatan pendidikan perdamaian untuk kalangan mahasiswa tersebut bukanlah kali yang terakhir, karena menurut dia kedepan akan kembali digelar dengan melibatkan peserta yang berbeda. “Melalui kegiatan ini semoga menjadi awal baru untuk mulai berbuat dari diri sendiri, keluarga dan masyarakat. Mari kita peduli terhadap sesama kita. Melalui kegiatan ini pula kita diharapkan mampu menjernihkan streotipe-streotipe negatif terhadap etnis kita maupun etnis lainnya yang berkembang” pinta alumnus FISIP Untan yang juga sebagai anggota Komnas HAM Kalbar ini.

Direktur MiSeM, Subro yang juga selaku ketua panitia memandang pentingnya peranserta masyarakat terutama kalangan kaum muda (mahasiswa) dalam memaknai streotipe-streotipe yang berkembang secara lebih jernih. Mari menarik diri masing-masing dari streotipe negatif dengan menumbuhkan pemikiran positif bahwa dimata setiap orang sesungguhnya ada cinta. Mari kita menjadi Juru Damai,” ajaknya. Hal sama disampaikan Julia. Menurut aktivis Institut Dayakologi asal etnis Tionghoa ini, kaum muda (mahasiswa) mestinya memiliki pembinaan yang lebih maju sebagai kaum terpelajar. Dikatakan, dirinya merasa sangat optimis kalau akhirnya bisa mengikis pelan-pelan streotipe-streotipe negatif yang kini masih berkembang dimasyarakat.

Meskipun berlangsung singkat, kegiatan ini diyakini telah memberi manfaat bagi peserta akan pentingnya saling menghargai dalam keberagaman. Seperti halnya Novita dan Agustina. Saat dimintai komentarnya, keduanya telah menerima sisi positif dari kegiatan tersebut. Disamping bisa saling kenal antar peserta dengan latar belakang yang berbeda, dikatakan pula bertambahnya wawasan mengenai perbedaan. Keduanya berharap agar kegiatan tersebut dapat kembali dilaksanakan. “Usai kegiatan ini kita akan mencoba mengajak dan berbagi pengalaman dengan rekan-rekan lainnya untuk bersama-sama memahami pentingnya menanamkan budaya damai dan saling menghargai perbedaan,” pungkas Novita.

Peserta lainnya, Qomaruzzaman menilai pendidikan perdamaian sangat tepat diberikan kepada kalangan kaum muda (mahasiswa) yang mana bila belajar dari pengalaman konflik, kaum muda menurutnya selalu terkait didalamnya. Keberadaan kaum mahasiswa dikatakan pula memiliki peran strategis karena selalu diidentikkan dengan agen og change atau corongnya perubahan. Melalui kegiatan pendidikan perdamaian, sosok yang juga ketua Himpunan Mahasiswa Madura (HIMMA) ini berharap peserta dapat membantu meluruskan streotipe-streotip yang berkembang dimasyarakat dan memberi pencerahan bagi masyarakat. Perdamaian dalam keberagaman adalah harapan yang menjadi kerinduan bersama warga.

Tidak ada komentar: