Senin, 14 Juli 2008

Catatan dari Training CO ;

Pacu Kesadaran Kritis sebagai Peace Keeper

By. Hendrikus Adam

Panas terik dari pancaran nur sang surya persis berada diatas kepala, menjadi pertanda keberangkatan kami saat itu. Setelah melakukan perjalanan kurang lebih selama dua jam setengah dari arah Pontianak, saya bersama rekan-rekan peserta Training akhirnya tiba di Toho, persisinya tepat di sebuah kawasan Pusat Pengembangan Teknologi Arang Terpadu (PPT AT) milik Yayasan Dian Tama pada Rabu, 25 Juni siang. Di tempat ini saya bersama 30-an peserta lainnya dari wilayah sambas dan Landak dipertemukan. Sebuah rumah berbentuk pondok sederhana berdiri kokoh disana. Juga terdapat tiga bangunan lainnya yang memang dikhususkan untuk penginapan tamu, dan satu gedung aula. Disekitar kawasan ini terhampar lahan sawah, kolam ikan, areal pemeliharaan ternak babi dan sapi. Juga terdapat media pembuatan arang briket. Terdapat lokasi pembibitan tanaman, juga pepohonan buah-buahan tumbuh subur disana. Tempat ini memang dikhususkan sebagai tempat “pemberdayaan masyarakat” oleh pemilik Yayasan. Tempat dimana arang briket dikembangkan. tempat dimana, pelatihan dan diskusi sering diadakan. Dikawasan yang memang agak tertutup ini, tidak banyak orang yang menyangka kalau tempat ini memiliki arti tersendiri. Namun, banyak pula orang yang telah mendapatkan manfaat dari tempat ini, terutama untuk berbagai bentuk kegiatan masyarakat. Sebut saja; pelatihan, retret, dan berbagai kegiatan lainnya dapat terselenggara disini. Suasana yang tenang dengan udara segar menjadi suguhan alami. Pun demikian, tempat ini tidak luput dari penerangan yang disuplay oleh negara (PLN).

Ditempat ini, tepatnya di Aula Enggang prosesi pelatihan CO dilangsungkan. Kami yang dari beragam latar belakang khususnya dari wilayah Kota Pontianak, Sambas dan Landak terlarut dalam kegiatan yang digagas oleh lembaga pendidikan pergerakan rakyat (eLPaGaR) yang berlangsung selam tiga hari. Saling berkenalan dan berbagi pengalaman menjadi bagian dari proses ini. Disini juga menjadi bagian pintu masuk untuk saling mengenal satu dengan lainnya. Beragam kepala dari latar belakang yang beragam boleh saling mengerti dan saling memahami. Tidak satupun yang menginginkan persoalan detruktif (konflik) muncul kembali. Cukup sudah pengalaman pahit masa silam. Sebuah konflik destruktif komunal masa silam disadari cukup menyakitkan. Sebuah moment yang tidak pernah pandang bulu. Persoalan latar belakang yang beragam disadari bukanlah soal dalam mewujudkan perdamaian. Saling merangkul satu dengan lainnya menjadi mutlak diusung secara bersama.

Masyarakat yang rentan terprovokasi penting untuk diorganisir. Peserta diajak untuk saling memahami perbedaan yang adalah pemberian kodrati yang tidak dapat dibantah menjadi bagian dari identitas diri setiap orang yang tidak perlu ditutup-tutupi, apalagi di perdebatkan. Perbedaan itu sedianya pantas disukuri sebagai bagian dari anugerah-Nya. Sebuah pelatihan yang ditujukan untuk meningkatkaan daya kritis para aktivis perdamaian untuk membangun perdamaian di bumi Khatulistiwa khususnya. Hadirin yang hadir sebagai peserta diharapkan dapat menjadi Peace Keeper (penjaga perdamaian) atas berbagai kemungkinan konflik destruktif komunal yang mungkin saja terjadi setiap saat. “Konflik itu penuh persepsi, penuh isu-isu dan dugaan-dugaan. Dengan upaya ini (pelatihan) setidaknya kita dapat menjadi orang yang pertama-tama tidak mudah terpancing isu-isu yang bisa saja makin memperkeruh suasana. Dapat saling memahami perbedaan dan tidak menyelesaikan dengan cara-cara kekerasan,” tegas Furbertus Ipur, Direktur eLPaGaR.

Peserta pelatihan kali ini memang relatif sedikit bila dibandingkan dengan luasnya daerah di Kalimantan Barat yang masing-masing punya potensi yang sama atas kemungkinan terjadinya konflik yang destruktif. Namun demikian, melakukan sesuatu berawal dari jumlah yang kecil menjadi penting. Melalui hal kecil diharapkan dapat menjadi besar. Semakin banyak orang yang menyuarakan untuk senantiasa mewujudkan damai bagi yang lainnya. Pelatihan pengorganisasi (an) rakyat/Community Organizer yang menyertakan para stakeholder jaringan Early Warning System (EWS) tiga wilayah (Pontianak, Landak, Sambas) merupakan bagian dari program Sistem Peringatan Dini Konflik Komunal (SPDKK) dalam kerangka membangun kesadaran kritis bagi para peace keeper untuk dibekali sebagai pengorganisir. Keberpihakan CO sangat jelas, yakni terfokus pada pemuliaan manusia (humanisasi).

Memahami perbedaan

Pola warisan pendidikan dimasa Orde Baru (Orba) boleh menjadi sebuah refleksi atas pemahaman akan sebuah realitas perbedaan yang kita alami saat ini. Sebuah perbedaan masa lalu cenderung disamaratakan atau diseragamkan. Lihat saja penyeragaman yang dilakukan di lembaga pendidikan formal, khususnya bagi para peserta belajar. Pakaian dan peraga lainnya diharapkan sama, seragam. Keseragaman dimasa lalu itu dikritisi Furbertus Ipur dalam fasilitasinya. “Dimasa Orba kita tidak diajarkan untuk memahami bahwa kita memang berbeda antara satu sama lain, agama satu dengan lainnya cenderung disamaratakan; sama baiknya. Padahal memang berbeda. Kita tidak pernah diajari untuk memahami bahwa perbedaan adalah suatu hal yang alami,” tegasnya.

Muhammad dalam kesempatan yang sama mengurai, perbedaan tidak mesti harus dipertentangkan secara konfrontatif, namun perbedaan harus dipahami sebagai “konflik” yang bisa dikelola. Melalui perbedaan dikatakan akan melahirkan kreatifitas yang dapat memunculkan semangat dialog. Pluralitas (keberagaman) menurut Muhammad tidak dapat dipungkiri, dan hal itu perlu terus dibangun dalam wujud komunikasi yang sinergis satu dengan yang lainnya. Untuk membangun pemahaman tentang pluralisme, ditegaskan perlu dilakukan dialog yang kreatif dan intensif. Sebuah perdamaian tidak hanya tercipta dengan sendirinya karena kondisi natural, namun harus dibuat dan mesti menjadi keinginan bersama.

“Memahami pluralisme itu tidak susah. Dengan banyaknya perbedaan, kita semakin memahami satu dengan lainnya. Perbedaan yang kalau tidak dipahami dengan baik, maka itu yang dapat menjadi potensi konflik,” ulas Hardi Suja’i, tim ahli SPDKK menyampaikan materinya.

Asumsi dasar dan Komitmen

Sebagai suatu hal yang alami yang selalu hadir terutama dalam diri dan lingkungan kita, konflik cenderung dibutuhkan; dibutuhkan untuk sebuah perubahan yang lebih baik. Namun demikian, konflik yang cenderung destruktif menjadi hal yang harus diantisipasi. Jangan sampai terjadi. Beberapa asumsi dasar sebuah konflik penting dipahami, dimana konflik; selalu ada dan memiliki sifat bawaan, menciptakan perubahan, memiliki dua sisi (bahaya-peluang), menciptakan energi, diperngaruhi oleh pola; emosi, kepribadian dan budaya, konflik seperti drama dan konflik cenderung menggugah kita untuk melakukan sesuatu. Demikian pula sumber sebuah konflik, yang menurut Furbertus Ipur sedikitnya ada lima hal yang saling terkait; 1) masalah hubungan antar manusia, 2) masalah kepentingan, 3) masalah data, 4) masalah perbedaan nilai dan 5) masalah structural.

Melalui pelatihan, orang yang melakukan pengorganisasian terhadap warga (Community Organizer) dalam orientasinya guna mewujudkan perdamaian bagi lingkungannya diharapkan mampu memahami problem konflik yang mungkin muncul. Membuat rakyat disekitarnya menjadi terorganisir dan tidak mudah untuk dipecah belah bukan pekerjaan mudah. Perlu kejelian dan kemampuan yang mumpuni. Kerja CO mendapat tantangan tersendiri, meski disadari bukanlah sebuah hal yang harus ditakuti. Sebuah hasil bukanlah tujuan bagi seorang CO, namun rangkaian proses yang benar menjadi sangat penting untuk dilakukan. Sebuah proses yang cenderung apik, akan membuahkan sebuah hasil yang tentunya dapat lebih baik.

Jamiat, salah satu peserta dari Sambas mengurai komitmennya. Dengan bergabung di SPDKK, dirinya berharap untuk senantiasa bisa bersama terlibat dalam memperjuangkan pluralisme dan perdamaian. Pendidikan orangtua yang diterimanya, turut membentuk dirinya sebagai pribadi yang mau memahami pluralisme.

Demikian pula peserta lainnya turut sepakat, bahwa perdamaian adalah cita-cita bersama setiap orang. Perdamaian perlu terus dipelihara dan diciptakan bersama, tanpa harus memperdebatkan realitas perbedaan dari keragaman latar belakang yang ada. Dengan mau mencoba memahami perbedaan dan saling menerima bahwa setiap orang dengan latar belakangnya yang berbeda adalah unik, maka rasa damai akan sungguh-sungguh bisa terwujud. Sisi lain dari pelatihan ini, juga sebagai media untuk saling meneguhkan. Mempererat tali kebersamaan, saling megenal satu dengan lainnya. Lebih penting dari itu, kegiatan ini adalah media untuk memicu diri peserta untuk menjadi penjaga perdamaian (peace keeper).