Rabu, 10 Oktober 2007

Wujudkan Pilkada Damai

"Mari Wujudkan Pilkada Damai Tanpa Konflik"

Pilkada damai menjadi harapan atau keinginan setiap orang, benarkah? Pertanyaan ini terkesan memang sedikit “ngawur”, namun saya rasa pantas direfleksikan. Jawabannyapun demikian beragam, bisa benar dan bisa pula tidak benar. Kedamaian berlangsungnya pilkada setidaknya bukan hanya menjadi harapan atau keinginan semata. Namun tindakan nyata melalui sikap, prilaku, keputusan, kebijakan dengan memperhatikan kebebasan berlandaskan norma-norma ideal yang bercermin pada etika untuk mewujudkannya menjadi penting, karena bila tidak dibarengi dengan hal demikian, maka jawabannya bisa saja menjadi sebaliknya (tidak benar).

Singkat kata, pilkada yang damai akan dapat terwujud bila dibarengi dengan tindakan nyata yang diwujudkan melalui kesungguhan sikap dalam tindakan dan prilaku serta keputusan yang memerdekakan setiap pribadi. Tanpa dibarengi sikap propokatif yang bisa berdampak merugikan banyak pihak. Namun demikian, pilkada damai semestinya tidak cukup bila hanya difahami sebagai suatu kondisi tidak terjadinya konflik secara fisik pada tingkat masyarakat, akan tetapi perlu dipahami secara lebih konperhensif (menyeluruh) yang menyangkut stabilitas keamanan, perasaan, rasa emosional yang melibatkan dan memerdekakan partisipasi seluruh elemen masyarakat. Pada kondisi ideal seperti ini, kemerdekaan yang bersumber dari hati nurani menjadi mutlak. Maka tidak heran bila ada saja pernyataan yang selalu disampaikan “Berikan Pilihanmu Berdasarkan Hati Nurani”. Sebuah sikap terdalam yang sarat makna, karena menyibak eksistensi manusia yang berbekalkan hak-haknya sebagai manusia (HAM) yang mendapat pernghargaan. Dalam arti lain, eksistensi manusia sebagai makhluk sosial dihargai.

Pilkada damai hanya mungkin terwujud bilamana dalam prosesnya mampu menghargai kaidah/norma-norma ketentuan hukum, menjunjung tinggi nilai-nilai kekebasan/demokrasi dan nilai kemanusiaan. Setiap orang yang diberi kebebesan, diberikan haknya untuk menentukan pilihan sendiri, akan turut merasa menang sekalipun kandidat yang dipilihnya agungkannya belum diberi kesempatan untuk menang.

Kemerdekaan hati nurani setidaknya digariskan seperti termaktub dalam pasal 28i ayat 1 UUD 1945 yang berbunyi; “…hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani …adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.” Jadi sesungguhnya, kebebasan untuk menentukan pilihan berdasarkan hati nurani telah digariskan.

Oleh karenanya, bila setiap warga diberi kesempatan untuk mencurahkan keputusan berdasarkan hati nuraninya, mengikuti kata hatinya, diberi kesempatan untuk menghargai perbedaan (termasuk pilihan) dan menjunjung tinggi nilai-nilai multicultur, maka peluang pilkada damai yang diharapkan sangat mungkin terwujud. Karena bila hal tersebut diberikan, maka rasa puas setiap warga dengan sendirinya akan muncul, sebab pilihan yang dilakukan didasarkan atas kesadaran. Untuk itu, menyongsong Pilkada November mendatang peran kita semua (warga Kalbar), para pendukung, para kandidat serta kalangan elit yang dijadikan Public Pigure bisa memberikan teladan dengan menghargai nilai-nilai perdamaian, demokrasi, kemerdekaan tanpa harus menunjukkan ambisi yang berlebihan yang dapat merugikan diri sendiri maupun masyarakat luas. Mari jaga bersama, jangan mudah terprovokasi dengan isu-isu destruktif dan menyesatkan yang sangat mungkin muncul akhir-akhir ini. Mari wujudkan Pemilihan langsung kepala daerah yang damai, merdeka dan bertanggungjawab dengan tetap mengedepankan nilai-nilai dan hak asasi manusia.

Hendrikus Adam BR,
Sekretaris Jenderal PMKRI Cabang Pontianak 06/07, Anggota JRKP, dan
Anggota Sahabat Lingkungan Kalbar (SALAK)

Menanti Jiwa Besar Calon Pemimpin Kalbar


by. Hendrikus Adam BR

Persaingan menjadi fenomena menarik menjelang pilkada. Pilgub Kalbar November mendatang adalah saat tepatbagi warga Kalbar memilih pemimpinnya secara langsung. Melalui moment ini, mentalitas sportifitas pasanganmasing-masing kandidat Cagub di uji. Menang-kalahadalah hasil yang pasti. Namun demikian, adakah jiwa besar tertanam dalam diri mereka bila suatu saat dihadapkan pada kenyataan "KALAH"?

Detik-detik pemilihan secara langsung kepala daerahuntuk yang pertama kalinya oleh warga di KalimantanBarat telah didepan mata. Tepat tanggal 15 Novembermendatang, prosesi Pesta Demokrasi Pemilihan Gubernurperiode 2008-2013 dijadwalkan mencapai puncaknya.Berdasarkan hasil verifikasi penyelenggara Pilsungkada(KPUD Kalbar), empat pasang calon GUbernur dan WakilGubernur dengan urutan masing-masing; H. UsmanJa’ar-LH. Kadir, Oesman Sapta-Ignatius Lyong, H.M.Akil Mohtar-AR. Mecer dan pasangan Cornelis-ChritiandySanjaya ditetapkan sebagai peserta Pilkada Kalbar.

Banyaknya pasangan kandidat yang maju dalam perhelatanPilkada kedepan, setidaknya telah terbuka ruang bagiwarga Kalbar untuk menenetukan pilihan calon pemimpinyang diingini. Secara logis pula, dengan semakinbanyaknya kandidat yang maju, maka makin besar pulapeluang untuk menentukan pemimpin yang terbaik. Untukitu, kemerdekaan hati nurani dalam menentukan pilihandan tidak mudah terprovokasi mesti tetap terjaga. Sikap ini pula mestinya wajib didukung dan dihormatioleh para elit, terutama masing-masing pasangkandidat.

Rasanya perlu dipahami bersama bahwa perhelatanpilkada Gubernur November mendatang adalah momentuntuk memilih kepala daerah yakni pemimpin wargaKalbar dan bukan pemimpin golongan tertentu. Dengandemikian, semestinya warga jangan mudahdikotak-kotakkan hanya karena persoalan SARA yangcenderung dipersempit. Siapapun kandidat yang majudalam perhelatan tentunya memiliki peluang dankesempatan sama yang pantas diberi apresiasi. Jadi,apapun latar belakang identitasnya bila dipandanglayak oleh warga Kalbar menjadi pemimpin, makasemestinya tidak perlu diperdebatkan. Satu hal pentingmenurut penulis yang harus dibangun adalah bagaimanakita menyadari bahwa pilkada mendatang adalah gawainyawarga Kalbar yang harus dijunjung tinggi.

Ibarat sebuah pertandingan, pilkada sangat jelas memiliki aturan main yang harus dipatuhi bersama. Didalam pertandingan, menang atau kalah adalahkonsekuensi logis yang mutlak. Konsekuensi pasti(menang-kalah) atas hasil pesta demokrasi seperti initentunya telah dipahami bersama oleh setiap kandidat.Karena bila tidak dipahami, maka langkah mengundurkandiri semestinya menjadi pilihan logis yang bolehdilakukan sebelum hasilnya benar-benar terjadi.

Meski ada kecenderungan maupun kekhawatiran wargakalbar terhadap para kandidat yang mungkin tidaksportif (tidak berjiwa besar)dalam menerima hasilpilkada, maka yang mesti dilakukan adalah bagaimanakita secara bersama-sama mengawal dan mendukung prosestersebut dengan tetap menghormati hak setiap kandidatdengan berupaya membentuk opini dan pemikiran positifagar apa yang diharapkan bisa berjalan sesuai koridordan kektentuan yang diharapkan. Kewajiban ini tentunyawajib kita nantikan.

Karena Pilkada adalah pertaruhan menang dan kalah,maka jiwa besar menjadi impian kita yang harus dijawab bersama warga, terutama para pasangan calon gubernur yang akan dipilih. Kesediaan menerima hasil pilkada dengan lapang dada adalah jalan menuuju kemenangan warga Kalbar yang sesungguhnya.


*) Sekretaris Jenderal PMKRI Cabang Pontianak 06/07, Anggota Sahabat Lingkungan Kalbar (SALAK), Anggota Jaringan Rakyat Untuk Keadilan dan Perdamaian (JRKP Pontianak)

Politisasi SARA Jelang Pilkada


Persoalan SARA termasuk didalamnya soal etnisitas menjadi sangat sensitif sehingga dalam waktu tertentu seakan menjadi tabu untuk dibicarakan, hal ini tentu beralasan mengingat pengalaman trauma masa lalu tidak dapat hilang bergitu saja dalam ingatan warga dunia umumnya dan Kalbar khususnya atas beberapa peristiwa konflik yang selalu bermuara pada persoalan identitas. Menjelang suksesi kepemimpinan Kalimantan Barat November mendatang, fenomena dengan simbol identitas ”SARA” juga cenderung dimunculkan oleh para elit maupun setiap pasangan kandidat. Padahal semestinya dalam alam demokrasi yang telah maju, persoalan seputar ”SARA” tidak seharusnya dijadikan komoditas politik yang berlebihan. Pemimpin yang lebih baik dan punya komitmen mensejahterakan rakyatnya adalah persoalan yang semestinya dikritisi dan dijawab bersama.

”Dengan keberagaman etnis yang ada, hal tersebut menjadi sensitif untuk diperdebatkan terlebih dalam menyongsong pemilihan pemimpin Kalbar November mendatang. Karenanya perlu kesepemahaman bersama dan harus dibangun ditingkat masyarakat untuk mewujudkan pilkada damai.” Hal tersebut disampaikan Umar Faruq, ketua Panitia Seminar Politisasi Etnisitas Dalam Pilkada di Wisma Nusantara Rabu (22/8) lalu.

Pada acara seminar yang diselenggarakan Sentral Informasi Kajian dan Demokrasi (SIKAD) tersebut, menghadirkan empat narasumber masing-masing; Nazirin, SH (anggota KPU Kalbar), Ir. Ichwani AR (Anggota DPRD Kalbar), Furbertus Ipur DJ, SH (Direktur Elpagar/Aktivis LSM) dan Kamarusdiana, SH, MH (Akademisi/Dosen UIN Jakarta).

Dalam paparannya, Kamarusdiana, SH, MH mengurai bahwa politisasi SARA (etnis) telah menjadi isu yang hangat diusung para bakal calon kandidat. Namun demikian dia tidak menapik kalau kekeberagaman etnisitas, menurutnya dapat menjadi sinegri dalam membangun Kalbar yang lebih baik. Dia mengingatkan, kalau titik rawan yang mesti menjadi perhatian adalah saat proses pendaftaran di lembaga penyelenggara Pilkada. Kamarusdiana berharap, pilkada Kalbar dapat mengambil pelajaran baik dari proses pilkada Jakarta yang dapat berjalan damai dan menjadi tanggung jawab bersama. Ia juga menyarankan, agar ada pihak (KPU) berkenan mempelopori pembuatan album lagu-lagu dalam bentuk kaset yang bernuansa kampanye untuk pilkada damai.

Sementara Ichwani AR, mengurai politisasi etnis memiliki sisi positif yakni menjadi suatu hal yang mudah, murah dan efektif. Namun demikian dikatakan pula politisasi etnis sisi memiliki sisi negatif diantaranya; kurang mendidik, tidak rasionalitas, kurang bisa dipertanggungjawabkan, potensi memacu konflik serta hasil pemilihan yang kurang optimal.

Hal lain pula disampaikan Nazirin, SH. Anggota KPUD Kalbar ini mengingatkan kalau isu seputar persoalan politisasi etnis tidak akan laku bila persoalan-persoalan dasar warga seperti bidang pendidikan, kesehatan dan lainnya telah terpenuhi. Untuk itu dikatakan, kemampuan mendeteksi konflik sejak dini menjadi kewajiban bersama. Nazirin menawarkan untuk mewujudkan pilkada damai, maka solusi yang mungkin dilakukan adalah bagaimana menggandeng para tokoh untuk isu-isu pilkada damai dan bagaimana berbagai pihak mempelopori adanya komitmen bersama ditingkat para elit dan kandidat untuk siap menang-kalah. Sebagai pihak penyelenggara, Nazirin mengaku kalau pihaknya hasru sungguh-sungguh independen dengan menutup celah menghindari terjadinya money politic.

Sedangkan Furbertus Ipur, SH dalam paparannya mengatakan bahwa pada masyarakat Kalimantan Barat yang multikultur dikatakan memang dapat menjadi salah satu potensi terjadinya konflik. Namun demikian, keberagaman yang ada juga justeru dapat menjadi potensi dalam mewujudkan keadilan dan perdamaian di Bumi Kalimantan Barat khususnya. Ipur mengingatkan bahwa dengan kondisi damai di Kalbar saat ini, bukan berarti tidak ada potensi konflik. ”Justeru saat ini modus operadi semakin di modernisasi” jelasnya.

Dikatakan, kondisi perpolitikan sekarang perlu dibangun dengan perpolitikan modern atas dasar rasionalitas dan bukan berdasarkan kesadaran mekanik terkait dengan kultural semata. Saat ini dikatakan dasar perpolitikan harus diubah bukan soal etnisitas yang sempit, karena yang ingin dicapai menurutnya adalah egalitarian politik. ”Kalau Kalbar mau maju, maka apa yang diusung dalam seminar ini mesti dijunjung tinggai,” pungkas Ipur

Barage Repo

JRKP, Skenario Untuk Perdamaian


by. Hendrikus Adam BR
Keadilan dan kedamaian bukanlah milik segelintir orang, melainkan menjadi harapan bagi setiap warga di muka bumi ini. Pentingnya upaya perwujudan perdamaian yang perlu terus menerus ditumbuhkembangkan dalam kehidupan bermasyarakat tanpa memandang sekat dan perbedaan lainnya menjadi cita-cita bersama. Pemikiran dan semangat seperti ini setidaknya telah mengilhami munculnya sebuah wadah organisasi rakyat yakni Jaringan Rakyat untuk Keadilan dan Perdamaian (JRKP). Berdasarkan hasil konsolidasi 4-5 Juli lalu, JRKP yang semula menggunakan istilah Sistem Peringatan Dini Konflik Komunal (SPDKK) sebagai penjabaran dari program Early Warning System (EWS) boleh dikatakan sebagai wadah pertama berbasis rakyat yang mencoba fokus pada isu-isu seputar keadilan dan perdamaian. Berdasarkan hasil konsolidasi tersebut dirumuskan peran strategis JRKP sebagai organisasi jaringan yang bekerja memperjuangkan keadilan dan perdamaian di Kalimantan Barat.

Disamping itu, JRKP memiliki prinsip dasar yang meliputi; a) menjunjung tinggi multikulturalisme, dimana JRKP dalam prinsipnya tidak memandang etnis, suku, agama dan golongan, namun lebih menghargai perbedaan, b) Bersifat terbuka (inklusif), bahwa wadah ini terbuka bagi siapa saja baik secara indivisu maupun berupak kelompok, c) menjunjung tinddi sikap toleran, dimana JRKP menghargai adanya perbedaan pendapat-sikap-pandangan, d) anti kekerasan (non violence), e) independen, bahwa JRKP tidak berpihak pada kepentingan, politik dan golongan tertentu, f) berkesetaraan gender, bahwa nilai-nilai berkeadilan gender perlu dijunjung tinggi.

Untuk saat ini, JRKP hanya tersebar pada tiga wilayah yakni Pontianak, Sambas dan Landak. Masing-masing wilayah tersebut koordinir oleh seorang koordinator JRKP wilayah. Sementara untuk koordinator setiap JRKP wilayah terletak pada Pimpinan Kolektif JRKP Kalbar yang terdiri dari 7 orang masing-masing; tiga orang staf lapangan program SPDKK, 3 orang dari koordinator per wilayah dan satu orang koordinator jaringan SPDKK.

Menurut Furbertus Ipur, SH yang juga selaku bagian dari core tim (Elpagar, Gemawan, Kelompok Studi Masyarakat dan Perdamaian/KSMP FISIP Untan, Misem dan YPPN (Yayasan Pemberdayaan Pepour Nusantara) bahwa model jaringan tersebut mestinya menjadi milik rakyat. Untuk itu, maka organisasi tersebut semestinya memang berangkat dari rakyat. ”Esensinya adalah kita ingin muncul skenario rekonsiliasi, skenario EWS untuk konflik dan skenario early respon atau skenario konflic prepention itu munculnya dari masyarakat langsung. Dan itu bisa digagas lewat diskusi-diskusi yang muncul dalam jariingan JRKP itu sendiri. Nah itu sebenarnya yang paling pokok, itu semangat utamanya kenapa JRKP ada. Wadah ini mestinya netral dalam arti menjadi katalisator kalau kita bicara soal perdamaian,” jelas Ipur.
Menurut Ipur, JRKP salah satu organisasi rakyat yang pertama yang pokus kerjanya adalah bicara perdamaian dan keadilan yang berbasiskan warga masyarakat (grass root), disamping upaya-upaya yang memang telah dilakukan sebelumnya oleh beberapa LSM.
Membangun Semangat Egaliter

Lahirnya JRKP menurut Direktur ELPAGAR (F. Ipur) diakui tidak lepas karena selalu adanya potensi konflik yang mungkin saja muncul. Karenanya semangat saling menghargai dalam perbedaan menjadi penting. ”Kalau sebuah komunitas tidak melakukan itu, maka relatif komunitas itu menjadi komunitas yang eksklusif dan cenderung menjadi ancaman untuk komunitas lain, karena komunitas itu tidak belajar untuk melihat perbedaan, tidak belajar untuk memandang sebuah konflik sebagai sebuah persoalan yang biasa dan cenderung menyelesaikannya dengan cara kekerasan,” bebernya.

Munculnya gerakan tersebut juga dikatakan sebagai kritik terhadap persoalan konflik horisontal yang tidak pernah bisa diselesaikan secara tuntas oleh pihak yg mestinya bertanggungjawab seperti pemerintah, terutama pula pihak keanmanan yang sampai sekarang belum ada skenario untuk itu. Mestinya JRKP bisa menjadi katalisator untuk persoalan-persoalan dalam mewujudkan keadilan, menjadi amplipier untuk isu-isu perdamaian. ”Prinsip-prinsipnya sederhana, siaapun yg mengeluarrkan pendapat atau melakukan tindakan diskriminasi atau tindakan rasial bisa memacu konflik dia harus dilawan oleh JRKP. JRKP akan melawan semua orang yang masih rasis di Kalbar dan JRKP punya beban untuk mendidik rakyat untuk bisa egaliter, bisa toleran satu sama lain,” tegasnya.

Kedepan JRKP diharapkan mengagendakan pendidikan kritis dan mendesakkan agenda-agenda perdamaian itu menjadi agenda politik bagi rezim pemerintahan yang berkuasa. Artinya birokrasi, keamanan dan aparat pertahanan dan keamanan harus mempunyai self of humanity (rasa kemanusiaan), sehingga mereka bisa meletakkan skenario untuk membangun perdamaian itu menjadi persoalan yang mutlak ketika dia berkuasa. Artinya ada good will untuk membangun perdamaian. Yang berikutnya terpenting juga turut serta mendorong ada perbaikan kebijakan. Jadi disamping soal kultur melalui pendidikan kritis, aparatus juga persoalan struktur/system mestinya didesakkan JRKP.

JRKP juga diminta untuk tidak buru-buru, dan mempersiapkan basis dan ada mekanisme kelembagaan yang baik. Dalam satu tahun berjalan, JRKP diharapkan dapat memberikan kontribusi yang rill bagi warga Kalbar terutama dengan semakin banyaknya anggota yang bergabung untuk menyuarakan persoalan-persoalan perdamaian di Kalbar.

Perdamaian Untuk Semua
Membangun perdamaian menjadi tanggungjawab bersama, karenanya diharapkan antar lembaga-lembaga sosial yang ada (LSM dan lainnya) agar saling mendukung dan saling koordinasi karena sikatakan, isu perdamaian bukan hanya dimiliki sekelompok orang, tapi seluruh kelompok orang. Aliansi NGO dan organisasi rakyat kedepan sdiharapkan pula mampu mempengaruhi terutama dalam kaitannya dengan upaya membangun perdamaian (peace building).

Khusus untuk penentuan pemimpin, Furbertus Ipur berharap agar masyarakat tidak lupa melihat perspektif perdamaian yang coba ditawarkan dari pemimpin, karena menurut dia siapapun pemimpinnya bila tidak punya perspektif membangun perdamaian pantas dipertanyakan. ”Jangan pilih siapapun pemimpin masyarakat bila dia tidak punya sens of peace, karena tidak mungkin kita membangun perdamaian dengan gelisah dan masyarakat yang frustasi serta syarat dengan kultur kekerasan,” pungkasnya.